Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yohannes Surya, dari Fisika Menuju "Superpower" Dunia

Kompas.com - 09/01/2017, 14:45 WIB

Karena itu, untuk memotivasi agar anak menikmati dan tidak merasa bosan belajar fisika, Yohannes menciptakan metode pembelajaran yang mudah dimengerti. Metode pembelajaran ciptaannya itu dia namakan Gasing (Gampang, Asyik, dan Menyenangkan). Baginya, kegiatan belajar harus sebisa mungkin dibuat gampang agar anak bisa menjawab semua soal.

“Kalau mereka masih kesulitan, berarti itu pelajaran belum gampang. Jadi, harus bisa dibikin segampang mungkin,” katanya.

Yohannes mengatakan, selama ini, banyak siswa mempelajari fisika menggunakan rumus. Cara ini, meski jadi anjuran, tak mudah bagi siswa mempelajarinya, lebih-lebih bagi anak yang masih tertinggal. Besar kemungkinan, mereka merasa bosan, lantas meninggalkan pelajaran yang terkenal sulit itu.

Mengantisipasi hal tersebut, cara demikian lalu diubah oleh Yohannes. Dia meyakinkan, tanpa rumus pun anak didiknya mampu mengerjakan soal fisika serumit apa pun. Dia mencontohkan ihwal mudahnya menjawab soal fisika tanpa rumus.

Misalnya, ada sebuah benda dilempar ke atas dengan kecepatan 70 meter per detik. Berapa lama waktu yang dibutuhkan benda tersebut untuk bisa sampai ke titik tertinggi?

“Benda yang dilempar dengan kecepatan 70 meter per detik itu, ketika bergerak semakin ke atas, kecepatannya akan semakin mengecil. Hingga titik teratas, benda itu berhenti dan balik arah turun ke bawah,” kata Yohannes.

“Itu terjadi karena ada gaya tarik bumi atau gravitasi yang menarik keceptan benda. Karena gravitasi bumi adalah 10 meter per detik kuadrat, maka ketika benda bergerak ke atas, kecepatannya akan berkurang 10 meter per detik. Jadi, tiap melaju satu detik tinggal dikurangi 10 saja. Kalau kecepatannya 70 meter per detik, maka untuk sampai ke titik tertinggi butuh waktu 7 detik.”

Contoh soal di atas merupakan satu dari sekian banyak soal fisika yang bisa dijawab tanpa rumus. Tentu, Yohannes punya beragam metode dalam mengajarkan anak didiknya untuk menjawab soal-soal fisika lainnya. Mengubah metode pengajaran ini menurutnya penting agar anak mudah memahami dan bisa menjawab pertanyaan yang diberikan.

“Kalau gampang, anak merasa tidak ada beban. Maka belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Jadi, dia menikmati belajarnya. Mau mengerjakan ribuan soal pun juga tidak ada masalah,” ujarnya.

Pencapaian sejauh ini

Sejak kali pertama mengikuti Olimpiade Fisika Internasional pada 1993, Indonesia lantas tak pernah absen dalam ajang bergengsi itu. Setiap tahunnya, Indonesia kerap langganan meraih medali. Meski belum bisa meraih medali emas, setidaknya ada peningkatan dengan raihan tambahan medali perak.

Setelah mondar-mandir hanya meraih perak dan perunggu selama tujuh tahun sejak keikutsertaannya, pada tahun 1999, akhirnya Indonesia mampu mendulang medali emas. Medali emas untuk kali pertama ini disumbangkan oleh anak didik Yohannes asal Bali, yakni Made Agus Wirawan.

Sejak meraih emas pertama itu, Yohannes semakin yakin akan kemampuan anak-anak Indonesia. Maka dari itu, tujuh tahun berikutnya, dia menargetkan pencapaian lebih tinggi lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia menginginkan prestasi juara dunia.

Karena target ambisiusnya inilah, Yohannes bergerilya menyambangi 250 kabupaten di Indonesia, dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur, Palembang, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dia mencari anak-anak Indonesia berbakat yang akan dia latih untuk meraih target impiannya itu.

Namun, upaya mencari siswa berbakat ini tak melulu berjalan mulus. Dari kunjungannya ke berbagai daerah, tak jarang dia temui sikap pesimistis anak-anak, guru-guru, dan pemerintah daerah setempat. Namun, itu tak lantas membuatnya patah semangat. Dia menepis anggapan miring itu. Alhasil, pada 2006, sesuai target, Indonesia berhasil menjuarai Olimpiade Fisika dengan gelar Absolute Winner.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com