Seorang Cak Lontong piawai mengemas kata menjadi tontonan apik di layar televisi. Hal ini tentu tidak dapat dibandingkan dengan seorang ahli fisika.
Dewa pun tidak memaksakan Yudhistira berada di garis depan medan laga Baratayuda. Namun, ia mendapat Jamus Kalimasada yang dianugrahkan dewa yang berupa kumpulan mantra yang dapat dikeluakan sewaktu-waktu dan mematikan lawan
Carilah Pasopati
Masih ada satu lagi senjata pamungkas yang menjadi salah satu ikon Perang Baratayuda, yaitu Konta Wijaya. Senjata sakti ini dianugerahi oleh dewa kepada Adipati Karna, kesatria dari kubu Kurawa yang terkenal dengan integritas dan kesetiaannya.
Tak satu pun kesatria dapat mengalahkan senjata yang hanya dapat dipergunakan sekali saja. Karena senjata inilah Gatot Kaca, putra Bima, yang juga seorang kesatria utama dari kubu Pandawa, roboh menghempas bumi dan gugur.
Sejatinya, bak dalam Perang Baratayuda, generasi muda masa kini pun harus memiliki Konta dan Pasopati jika ingin memenangkan "Baratayuda Milenial". Tak cukup hanya membanggakan indeks prestasi di atas rata-rata, karena ada berjuta orang dengan indeks prestasi yang persis sama.
Tidak cukup juga hanya mengandalkan, "Saya lulusan universitas ternama".
Ya, karena ada beribu perguruan tinggi yang memiliki peringkat lebih baik. Mereka juga tak cukup hanya berlaga di kompetisi global dengan senjata minimum requirement atau sekedar memenuhi eligibility criteria, karena saingannya adalah berjuta prajurit.
Seorang kesatria harus datang dengan 'keunggulan'. baik itu keunggulan akademis maupun nonakademis. Keunggulan akademis Arjuna didapat dari Resi Dorna yang berperan penting mengasah keahlian memanahnya.
Namun, keunggulan nonakademisnya banyak dia dapatkan dari Batara Kresna, sang penasehat Pandawa, yang banyak mengajarkan tentang berpikir kritis, situasional, out of the box dan juga kearifan kepada Arjuna dan para kestaria Pandawa lainnya yang akhirnya merupakan ‘senjata pamungkas’ untuk memenangkan peperangan.
Keunggulan kaum milenial yang menjadi senjata andalan generasi muda adalah kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, serta berinteraksi dalam lingkup multikultur. Satu hal yang tak kalah penting adalah kesadaran akan potensi diri dan kepekaan terhadap tantangan ke depan.
Bukan karbitan
Pembentukkan kesatria perlu waktu. Pandawa Lima tidak serta merta dapat memenangkan peperangan. Kemenangan di Padang Kurusetra bukan hadiah, tapi sebuah proses panjang.
Pembentukan kesatria juga perlu dipupuk. Mereka tidak dapat "dikarbit", terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan kedewasaan, kematangan, dan kearifan.
Namun, di atas semua itu, untuk membentuk generasi milenial menjadi generasi kesatria, diperlukan guru militer sekaliber Dorna. Butuh guru besar taktik perang dan spiritual sekaliber Prabu Kresna, dan juga ibu sehebat dan sebijak Dewi Kunti, yang tidak hanya mencekoki dan menuangkan ilmu, namun juga memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk gagal, untuk mencoba dan bereksperimen, serta berpikir kritis.
Satu hal tak kalah penting adalah untuk belajar dari kekalahan, untuk modal memetik kemenangan. Ya, it takes a village untuk membentuk generasi kesatria! Dibutuhkan pendidik yang satria pandita untuk mendidik calon pemimpin yang kelak dapat menjadi pemimpin paling dipanuti.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.