Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Digitalisasi, Upaya Menjaga "Harta Karun" Pencinta Alam Indonesia

Kompas.com - 17/12/2017, 22:53 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

Berbulan-bulan saya melakukan proses restorasi digital foto-foto Mapala UI. Mulai pemilahan kerusakan foto, alih media, hingga memperbaiki kualitas foto yang rusak menggunakan perangkat lunak Adobe Photoshop.

Potensi kerusakan foto-foto itu pun sebetulnya sudah terlihat ketika saya melakukan observasi ke Sekretariat Mapala UI. Kondisi foto yang berantakan tak terurus bisa terlihat dengan mudahnya.

Berdasarkan hasil observasi, saya menemukan kerusakan foto seperti terlipat, terkelupas, menyuram, degradasi warna, berjamur, bernoda, lengket, dan kerusakan lain akibat kesalahan penanganan serta penyimpanan yang tak sesuai.

Saat itu penyimpanan foto hanya diletakkan di lemari besi. Tak ada pendingin ruangan yang bisa menjaga kelembaban dan suhu udara.

Mary Lynn Ritzenthaler dalam bukunya Preserving Archives and Manuscripts (1993) menyebutkan, standar yang diterapkan untuk mencegah kerusakan bahan koleksi seperti film adalah lingkungan fisik yang ideal untuk material bahan koleksi film yang meliputi kelembaban relatif dan temperatur yang terkontrol udara bersih dengan sirkulasi baik, sumber penerangan  terkontrol dan bebas jamur, serangga, serta gangguan binatang pengerat.

Tim digitalisasi dokumentasi Mapala UI yang terdiri dari anggota internal Mapala UI lintas pendidikan dan pekerjaan kini sedang bahu membahu menyelamatkan kepingan demi kepingan sejarah organisasi mahasiswa pencinta alam tertua itu dalam bentuk foto.

Ya, bicara Mapala UI memang mau tak mau bicara sejarah dunia kepecintaalaman Indonesia. Istilah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mungkin ada benarnya.

Digitalisasi, kendala pencinta alam Indonesia

Masalah tentang pelestarian dan pendokumentasian foto-foto "jadoel" tak hanya dialami oleh Mapala UI yang kini berumur 53 tahun. Pahitnya proses, pengelolaan berkelanjutan, dan sumber daya manusia yang mumpuni pun menjadi faktor utama dalam kegiatan pengelolaan foto "jadoel" itu.

Setidaknya hal itu juga dialami oleh organisasi pencinta alam yang berumur di atas 40 tahun seperti Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gajah Mada (Mapagama UGM) serta Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri.

Ketua Umum Mapagama UGM, Manto Sitindaon, menuturkan Mapagama UGM sebetulnya telah memulai digitalisasi sejak 2004. Dia menyebut kesulitan seperti proses pemindaian, pembuatan metadata foto, kerusakan foto, dan minimnya informasi tentang foto "jadoel" adalah beberapa kendala utama harus dihadapi.

"Kalau SDM teknisnya (memang) kurang mengerti. Kalau dulu yang pertama digitalisasi itu angkatan 2002, Mas Agus. Dia hobi fotografi, punya video (tutorial). Awalnya, dia orang yang memberikan wawasan cara (mengelola foto) itu. Di situlah kekurangan kami, di bagian kearsipannya," kata Manto.

Kesalahan penyimpanan foto "jadoel" pun terjadi. Kondisi ruang penyimpan yang lembab, melipat foto, dan suhu tak ideal, yang akhirnya membuat foto rusak. Dia mengakui, pola pengarsipan foto-foto "jadoel" Mapagama UGM jauh dari kata ideal.

"Yang pertama berjamur karena lembab, juga memudar. Penyimpanan foto dilipat. Pengarsipan juga tak seideal itu untuk menyimpan koleksi. Kami belum mengerti. Kami juga sharing dengan teman-teman (jurusan) Kearsipan UGM. Kami akui kompetensi kami kurang. Itu tantangan ke depannya (untuk mengelola foto jadoel)," ujarnya.

Ketua Umum Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri, Andi Angga Kusuma, turut berkeluh kesah terkait pelestarian foto-foto "jadoel". Dia mengatakan, Wanadri juga mengalami kesulitan dalam tahap pengarsipan seperti alih media dan penyimpanan foto. Plus, kesulitan pendataan lantaran banyak kehilangan koleksi foto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com