BEBERAPA tahun lalu, ketika saya sedang belajar (lagi) ilmu psikologi, saya diberikan tanggung jawab mendampingi seorang anak. Sebut saja namanya Budi.
Budi baru saja naik kelas tiga SMA, tetapi nilai-nilai akademiknya terus merosot sejak kelas dua. Pak kepala sekolah menugaskan saya mencari tahu sebabnya dan beliau mengatakan, apakah memungkinkan membantu Budi mengembalikan prestasinya.
Sebab, waktu kelas satu, nilai akademiknya tidak jelek. Saya pun mulai mempelajari latar belakang keluarga dan akademiknya melalui berkas-berkas yang ada di sekolah mengenai Budi.
Informasi verbal juga berusaha saya dapatkan dari kepala sekolah, wali kelas, dan guru lain yang pernah berinteraksi dengan Budi. Selain itu, saya juga kontak orangtuanya yang ada di seberang pulau sekalian minta izin pendampingan.
Untung orangtuanya cukup terbuka dan malah mendesak saya membantu mengembalikan prestasi anaknya.
Informasi yang saya dapatkan cocok dengan informasi dari sekolah. Orangtua juga mengatakan, Budi berubah menjadi pendiam sejak kelas dua SMA. Padahal, tidak sampai 10 bulan lagi Budi dan teman-teman seangkatannya harus mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
Saya katakan orangtuanya kooperatif karena saya pernah melakukan pendampingan anak lain dan mendapati orangtuanya cuek sama sekali atau yang lain malah curiga terhadap saya. Duh....
Sebagai catatan, pendampingan psikologi untuk anak yang efektif hanya bisa terjadi jika kedua orangtua kompak.
Setelah lengkap, saya baru mulai berkenalan dengan Budi. Seperti biasa, awalnya kaku. Budi ragu-ragu. Kesan pertama saat ngobrol memang anak ini sangat-sangat tidak percaya diri. Namun, saya tidak memaksakan diri. Kata orang Jawa, witing tresna jalaran saka kulina. Kepercayaan akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Konselor tidak boleh terburu-buru.
Hampir sebulan Budi hanya ngomong sedikit, lebih banyak saya yang ngobrol ke sana-kemari. Dari obrolan-obrolan singkat itu, saya mendapati bahwa Budi suka main gim, saya install di komputer (PC karena belum punya laptop) gim seperti milik Budi.
Komputer saya ngos-ngosan ketika di-install gim first person shooter (FPS) berat itu, tetapi tak apa-apa yang penting bisa jadi bahan obrolan. Baru bulan kedua saya “diizinkan” mampir ke kosnya untuk main gim.
Kamar kos Budi tidak berantakan, malah cenderung rapi dan bersih. Namun, yang saya perhatikan adalah laptop dan sound system-nya yang canggih. Saya ngiler lihatnya. Baru pada bulan kedua itu, obrolan kami mulai lebih cair.
Budi mulai agak banyak bicara. Saya juga kenalan dengan beberapa anak yang satu lantai dengan kosnya.
Berdasarkan informasi dari Budi sendiri dan dari teman-temannya satu lantai kos, rupanya sejak kelas dua, Budi yang tinggal di kos sebelah sekolahnya ini sering di-bully (rundung) kakak kelasnya, baik di sekolah maupun di kosnya, baik secara verbal maupun fisik.