"Kalau kronologi soal perjuangan mahasiswa pada 1998, itu sudah ada ceritanya di mana-mana. Tapi ada satu kesegaran yang Mbak Leila sajikan dalam Laut Bercerita, yakni faktor kemanusiaan," cetus Maria.
Dalam era Orde Baru, aspek kemanusiaan kerap dilupakan. Salah satu akibat dari rezim tangan besi itu adalah penderitaan keluarga korban penghilangan paksa. Penantian panjang terhadap anak dan saudara terkasih, yang entah masih hidup ataukah tiada. Jika sudah mati, di manakah gerangan jasadnya? Ini selaras dengan perkataan Leila.
Dalam novel terbarunya yang sukses dicetak ulang dua kali dalam kurun waktu kurang dari satu caturwulan itu, ia menuliskan, "Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan."
"Dan rasa kehilangan keluarga korban itu digambarkan dengan sangat baik oleh Leila Chudori," tukas Maria.
Rahasia Asmara Jati dan Sang Penyair
Apa pertimbangan Leila memutuskan mengambil tokoh Asmara Jati sebagai satu sudut pandang lain dalam penceritaan? Bila membicarakan soal kehilangan, sebenarnya orangtua memiliki kesan lebih mendalam, sehingga mengapa tidak menggunakan perspektif ibu atau ayah Biru Laut? Tidak mustahil juga untuk direfleksikan lewat mata berkaca-kaca kekasih Biru Laut, Ratih Anjani?
Leila menjawab, memang, ada dilema ketika ia memutuskan tokoh mana yang tepat untuk melanjutkan cerita Biru Laut. Tokoh pertama yang terlintas dalam benaknya, adalah ibu Biru Laut. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir dan mengukur kemampuan diri, Leila mengaku tak sanggup melanjutkan bagian keduanya jika memakai sudut pandang sang ibu. Kekalutan Ibu Wibisana, dan penyangkalan beliau, serta kerapuhannya, dirasa kurang kuat untuk meneruskan bagian kedua Laut Bercerita.
"Sebagai ibu, saya enggak kuat," katanya berterus terang.
"Saya bisa membayangkan kalau dibuat dari sisi ibu Biru Laut, maka yang terjadi akan banjir air mata sekali. Saya juga menulisnya bisa sambil sesenggukan terus," akunya.
Di tengah penggarapan itulah, Leila memutar haluan. Ia beralih pada Asmara Jati. Bagi Leila, sosok Asmara Jati sejak awal adalah kunci.
Sosok kunci yang dibanding tokoh lain, paling menyuarakan rasionalitas di tengah situasi politik nasional yang memanas. Tak heran, dia menjadikan adik Biru Laut itu sebagai seorang dokter yang cerdas, matang, dan penuh perhitungan. Dia juga yang tak putus-putus mengingatkan betapa besar risiko dan bahaya yang akan dihadapi abangnya jika terus melanjutkan aksi protes terhadap pemerintah.
"Saya merasa harus ada tokoh yang rasional, yang menjaga agar semua tetap terkendali. Keluarga ini beres dan cerita tetap berjalan. Asmara Jati adalah sosok yang mewakili suara saya," paparnya.
Tokoh lain yang menggelitik rasa penasaran peserta adalah Gala Pranaya, yang dijuluki Sang Penyair karena puisi-puisinya dianggap setingkat dewa. Dalam Laut Bercerita, begini penggambaran atas Sang Penyair:
Tubuh Sang Penyair yang tipis itu masih sama. Di atas mata kirinya terlihat bekas jahitan yang cukup panjang. Dia terlihat begitu bersinar tapi toh (sekaligus) begitu sederhana. (hlm. 61)
Deskripsi tersebut mengingatkan kita kepada penyair cadel yang juga tak ketahuan rimbanya, Wiji Thukul. Seperti kita tahu, mata kanan Wiji agak cacat karena mengalami kecelakaan kerja pada 1995.
Lalu pada halaman 82, Sang Penyair diciri-cirikan kurus, kumal, berkulit kusam, dan penyendiri. Sang Penyair sudah lulus SMA dua tahun sebelumnya dan tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena katanya, "Aku masih mengurus empat orang adikku."