Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Murid Penganiaya Guru, Pelaku atau Korban?

Kompas.com - 12/02/2018, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sampai minggu kemarin, berita-berita di media online dengan kata kunci "anak aniaya" masih didominasi oleh kasus MH, murid yang memukul gurunya.

Menjadi ramai karena kemudian sang guru meninggal. Karakter seperti apa? Mental seperti apa? Ketika murid sudah mulai menganiaya gurunya? Jangan-jangan kasus kekerasan dengan penganiayaan ini hanya fenomena gunung es.

Pemerintah melalui anggaran jumbonya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semestinya melihat kasus ini secara serius. Menurut saya ini kasus yang sangat..sangat serius. Apa yang salah? Sistemnya? Gurunya? Pola asuh orangtuanya? 

"Betapa pendidikan karakter budi pekerti masih jadi PR besar dalam proses pendidikan kita,"  kata Jokowi saat membuka Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayan di Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). Dari jaman reformasi sepertinya pendidikan karakter masih saja menjadi PR.

Saya ingat betul waktu saya masih kelas dua SMA. Karena ngobrol di kelas saat pelajaran, guru saya tiba-tiba teriak "Kamu! Keluar!" sambil menuding jidat saya. Saya lalu keluar dengan menunduk, menatap wajah guru saya yang marah saja saya tidak berani.

Lain lagi ketika masih SMP, saya dan salah satu teman saya waktu jam pelajaran, ngeloyor ke parkiran sepeda dan menggemboskan ban beberapa sepeda teman saya yang lain. Tiba-tiba pak guru sudah berdiri di ujung parkiran sepeda, tanpa bicara apa-apa, hanya menatap tajam kami berdua, sambil berkacak pinggang.

Tanpa diteriaki pun kami mundur teratur lalu lari karena kami masih punya rasa hormat terhadap guru karena memang waktu itu saya rasa guru-guru saya sebagian besar punya wibawa, dan yang paling penting adalah, kami tahu yang kami lakukan memang salah.

Apakah benar yang dikatakan Kak Seto seperti Senin 5 februari yang lalu bahwa MH (17 tahun),sang pelaku penganiayaan ini hanya korban? Apakah benar demikian? Pemerintah yang salah?

(Baca: Kak Seto Anggap Siswa yang Aniaya Guru Hingga Tewas adalah Korban)

Jelas iya. Tapi tidak pas kalau kita hanya menuding pemerintah. Munculnya kekerasan fisik selalu dimulai dari kekerasan verbal. Kapan terakhir kali kita saling mencaci maki di sosial media? Kemarin? Atau malah beberapa menit yang lalu?

Kita pikir anak-anak kita, adik-adik kita, ponakan-ponakan kita yang masih sekolah dan kesana kemari juga menenteng smartphone itu tidak membacanya?

Paparan kekerasan verbal pada anak akan selalu membekas pada pikiran anak. Pada remaja, risiko kekerasan verbal ini termanifestasi menjadi kekerasan fisik akan jauh lebih besar.

Masa remaja (adolescent) ini masa yang unik, karena pada masa ini seseorang tidak bisa disebut anak (child) sekaligus tidak bisa juga disebut dewasa (adult).

Masa Kritis

Dalam teori perkembangan psikososial Erikson (1998), nama teorinya diambil dari nama Erik Erikson, ahli psikoanalisis, profesor psikologi dari Harvard University. Usia 17 tahun masuk tahap "Identity vs Role confusion" yang rentang usianya 13-19 tahun.

Pada tahap ini seseorang mengalami masa krisis, masa ini merupakan peralihan masa anak-anak dengan masa dewasa. Remaja pada umumnya mencari identitas diri, jati diri, mulai memiliki tokoh idola yang berusaha ia representasikan dalam dirinya.

Secara psikososial menjauh dari orangtua yang ia anggap sebagai tokoh "masa lalu" dan berpaling pada lingkungan atau teman-teman sebayanya.

Umumnya sebagian orangtua sudah menyadari bahwa masa balita adalah masa kritis perkembangan otak. Namun penelitian menunjukkan masa remaja juga merupakan masa kritis.

Kehidupan anak usia dua tahun dengan anak usia 14-18 tahun ada kemiripan. keduanya merupakan pribadi-pribadi yang gelisah.

Tara Swart, neuroscientist dan peneliti dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa traumatik yang terjadi di usia balita atau remaja lebih beresiko mempengaruhi perkembangan otak secara permanen.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau