Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Murid Penganiaya Guru, Pelaku atau Korban?

Kompas.com - 12/02/2018, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Pada anak dua tahun, proses sinapsis dalam neuron otak bergerak sangat lentur. Pada tahap ini pula terjadi proses perkembangan yang sangat penting : kemampuan bicara. Otak bekerja di atas rata-rata ketika anak mulai belajar bahasa. Ruang pemahaman tiba2 “meledak” jauh lebih luas dibandingkan masa sebelumnya. Pada tahap ini trauma emosional (kekerasan, pengabaian, dll) bisa mempengaruhi perkembangan neurologis.

Begitu pula pada masa remaja. Otak mulai melakukan pekerjaan “bersih-bersih”. Ketika itu sinapsis-sinapsis yang “tidak perlu” akan dihapus.

Hal ini untuk mendukung aktifnya otak depan (frontal lobes). Untuk pertama kalinya, seseorang akan mulai memahami konsep-konsep pemikiran yang lebih kompleks seperti interaksi sosial dalam konteks yang lebih luas, politik, ideologi, filosofi kehidupan, dan lain-lain.

Biasanya pada masa ini seorang remaja punya visi untuk mengubah dunia atau hal2 lain yang sifatnya mempertanyakan perannya untuk masyarakat. Pada masa transisi yang labil ini remaja mudah terpapar perilaku negatif. Jadi apa yang harus dilakukan? Apakah kita perlu belajar sistem pendidikan ke Jepang, ke Korea, atau ke Finlandia? Bisa saja.

Tapi kalau kita baca-baca lagi tulisan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, kita mungkin tidak perlu jauh-jauh studi banding ke luar negeri.

Sistem Trisentra

Delapan puluh tiga tahun yang lalu, dalam sebuah artikel di majalah “Wasita” terbitan 1935. Ki Hajar Dewantara sudah menekankan tiga hal maha-penting yang menjadi pusat pendidikan yaitu : alam-keluarga, alam-perguruan (sekolah), dan alam pergaulan pemuda/i.

Ki Hajar menyebutnya Sistem Trisentra. Pendidikan tidak hanya muncul di lingkungan sekolah. Sekolah hanya salah satu wahana pendidikan. Inti pendidikan karakter dan pengembagan pengetahuan adalah trisentra lingkungan keluarga-sekolah-pergaulan. Ketiganya tidak bisa dipisahkan.

Keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Tahap perkembangan anak sejak lahir hingga usia 6 tahun pada umumnya berpusat pada keluarga, dimana anak pertama kali belajar secara sosial, kognitif, dan psikomotor. Pada masa ini fondasi karakter anak terbentuk.

Secara insting mulai usia 2 tahun, anak sudah mulai melakukan observasi dan imitasi perilaku dengan orang-orang terdekatnya yaitu orangtua, ayah dan ibu.

Semua  perilaku, verbal maupun nonverbal seperti kata-kata, mimik wajah, aktivitas fisik, baik yang dilakukan orangtua maupun yang dilihat dari televisi, gadget, atau orang lain selain ayah dan ibu akan dengan mudah diserap dan dicontoh oleh anak.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau