Visna Vulovik
Leader Team Pembangunan Komunitas untuk Perdamaian Wahid Foundation

Leader Team Pembangunan Komunitas untuk Perdamaian Wahid Foundation

Memaknai Pembangunan Perdamaian Melalui Perempuan

Kompas.com - 22/03/2018, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - "Saya yakin bahwa perdamaian menyaratkan adanya kesetaraan. Kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Kita tidak harus meninggalkan urusan dapur dan anak-anak untuk bisa aktif dalam kegiatan perdamaian. Kesetaraan semua agama. Saya sebagai seorang Katolik saya merasa mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kerukunan.”

Pernyataan Ibu Elisabeth Anita dari Klaten dalam Forum PBB di Jepang yang digelar pada 28 Februari-3 Maret lalu menunjukkan dengan jelas bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme bisa dilakukan perempuan.

Bukan hanya itu. Ibu yang akrab dipanggil Bu Anita itu beragama Nasrani dan menjadi kelompok minoritas di daerahnya. Dia merasakan bahwa perwujudan perdamaian merupakan kewajiban semua warga.

Perwujudan perdamaian bisa dilakukan dari keluarga kemudian baru lingkungan sekitar. Baginya, peran ibu penting untuk menjadi motor dalam mewujudkan perdamaian di lingkungan terkecil yaitu keluarga, termasuk cara membangun generasi yang toleran dan cinta damai.

Wahid Foundation sendiri diundang oleh UN Women dan Pemerintah Jepang terkait upayanya dalam pencegahan arus radikalisme dan terorisme melalui perempuan. Upaya yang dilakukan Wahid ini dinilai unik karena menggabungkan antara pendekatan pemberdayaan ekonomi, pembangunan perdamaian dan partisipasi perempuan sekaligus.

Upaya itu mendapat perhatian, karena fokusnya yang langsung menyasar masyarakat akar rumput dengan menginisiasi lahirnya 9 Desa Damai di 3 provinsi di Indonesia.

Perempuan dan Terorisme

Pembangunan perdamaian dan penanganan terorisme menjadi problema utama semua masyarakat. Fenomena mutakhirnya adalah bahwa teroris itu kini bukan hanya menjadi isu laki-laki, tapi juga perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam tindak radikalisme dan terorisme bukan hal yang baru sama sekali. Di Indonesia, fenomena kembali menjadi perhatian pascapenangkapan Dian Novita Yuli di Bekasi. Penangkapan itu sekaligus membuktikan, bahwa terorisme bukan lagi domain kaum lelaki semata, melainkan juga perempuan.

Kelompok perempuan ini bukan hanya menjadi kelompok pendukung, tapi menjadi pemain utama pelaku terorisme. Bahkan, riset yang dilakukan the Institute of Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” tahun 2017 menunjukkan dengan jelas keterlibatan perempuan dalam tindak terorisme itu.

Laporan itu menjelaskan bahwa sejak 2013 lebih dari 100 perempuan dan anak dari Indonesia telah melewati perbatasan Turki-Syria untuk bergabung dengan ISIS.

Fenomena itu menunjukkan bahwa dalam jaringan terorisme, perempuan telah melampaui peran tradisional dalam hal isu pernikahan, keibuan, dan membangun jaringan teroris, yang menjadi satu domain tradisional para istri teroris di Indonesia.

Kini, perempuan telah menjadi pelaku aktif tindak terorisme. Dengan kata lain,  keinginan perempuan untuk memainkan peran lebih besar merupakan transformasi dari jaringan terorisme.

Perempuan tidak lagi melihat diri mereka sebagai istri, ibu, atau bahkan ustadzah bagi anak-anak jihadis, melainkan sebagai kombatan. Lebih jauh bisa dikatakan, bahwa transformasi dalam diri perempuan jihadis tidak lepas dari apa yang mereka lihat dari perempuan-perempuan di Palestina, Irak, dan Chechnya.

Perempuan dan perdamaian

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau