Apa yang yang patut menjadi perhatian adalah bahwa potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian yang cenderung diabaikan. Karena itu, laporan atau pun narasi tentang perempuan yang menjadi bagian dari teroris lebih banyak terungkap daripada sebaliknya. Maksudnya, narasi perempuan yang jatuh ke dalam lubang radikalisme lebih banyak diungkap daripada peran mereka dalam perdamaian.
Survei yang dilakukan Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia yang diluncurkan pada Januari 2018 lalu menunjukkan potensi toleransi yang luar biasa di kalangan perempuan di Indonesia untuk mempromosikan perdamaian.
Dibandingkan laki-laki perempuan lebih bersifat toleran terhadap perbedaan dan lebih sedikit bersedia melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda.
Survei yang melibatkan 1.500 responden laki-laki dan perempuan di 34 provinsi di Indonesia itu menunjukkan bahwa sebanyak 80,7 persen perempuan mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan atau keyakinan.
Dalam konteks radikalisme, sebanyak 80,8 persen perempuan lebih tidak bersedia radikal dibanding laki-laki (76,7 persen) dan perempuan yang intoleran (55 persen) lebih sedikit dibanding laki-laki (59,2 persen). Perempuan (53,3 persen) juga memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki (60,3 persen).
Ini merupakan potensi luar biasa bangsa kita untuk melakukan pencegahan tindak radikalisme dan terorisme. Perempuan memiliki peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai kepada keluarga dan komunitas.
Meminjam kata-kata Presiden Jokowi, "Karakter senang damai harus ditumbuhkembangkan dari lingkup keluarga dan perempuan yang mengisi. Memang ibu-ibu dan perempuan itu yang bisa menjadi kunci bagi perdamaian dari scope kecil hingga dunia”.
Perdamaian dan Kesetaraan Perempuan
Sayangnya, sebagaimana diakui banyak pihak, potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian seringkali diabaikan. Persoalan ini tidak lepas dari persoalan gender.
Dengan kata lain, upaya untuk mendorong potensi perempuan menjadi agen perdamaian masih dihadapkan pada persoalan kesetaraan gender.
Survei Wahid Foundation itu di saat yang sama juga menunjukkan bahwa tingkat otonomi perempuan untuk mengambil keputusan dalam hidupnya lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Persentasenya, kemungkinan perempuan muslim Indonesia mengambil keputusan itu hanya sebesar 53,3 persen. Sementara, laki-laki persentasenya 80,2 persen.
Dalam kaitan itu bisa dikatakan bahwa terabaikannya suara perempuan dalam pembangunan perdamaian tidak lepas dari persoalan gender. Persoalan ini tercermin pula dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Upaya pencegahan radikalisme dan terorisme masih sangat maskulin. Forum antaragama atau forum lintas iman yang notabene bisa menjadi basis pencegahan radikalisme di masyarakat, rata-rata masih diisi oleh pemimpin agama laki-laki.
Dalam kaitan itulah, sangat penting untuk menjadikan agenda upaya penguatan toleransi dan perdamaian sebagai satu kesatuan dengan agenda pengarustaman gender serta pemberdayaan perempuan. Dengan kata lain, untuk memaksimalkan potensi perempuan sebagai agen perdamaian tidak bisa mengabaikan aspek partisipasi perempuan.