KOMPAS.com – Siang itu, Dika Zulianto (19) sibuk memandang layar komputer jinjingnya. Dari tatapan matanya, ia tampak serius mencari informasi di sebuah laman pencarian lowongan pekerjaan. Sesekali, ia juga mengerutkan dahinya kala membaca informasi tersebut.
Selepas lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK) beberapa bulan lalu, Dika memang rajin berburu informasi lowongan pekerjaan. Namun, setelah lama mencari, ia tak kunjung menemukan pekerjaan yang sesuai kualifikasinya.
“Susah banget cari pekerjaan, syaratnya macam-macam”, curhat remaja yang mengambil Jurusan Administrasi Perkantoran itu.
Kisah Dika tersebut bisa saja tak hanya dialami dirinya sendiri. Masih banyak jutaan anak muda lain di Indonesia yang ingin segera bekerja selepas lulus sekolah, tetapi kesulitan karena tak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan.
Ini karena industri zaman sekarang berbeda dengan tempo dahulu. Laju perkembangan teknologi mengubah perilaku pasar atau konsumen sehingga memaksa perusahaan harus bisa menyesuaikannya.
Imbasnya kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pun ikut berubah.
Direktur Pendidikan Microsoft Area Timur Tengah dan Afrika Mark Chaban mengatakan bahwa industri pada era modern membutuhkan tenaga kerja yang punya skill atau kemampuan 5Cs
Lima kemampuan tersebut adalah communication (komunikasi), collaboration (bekerja sama), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreativitas), dan computational learning (penggunaan teknologi).
“Mahir berkomunikasi, cakap dalam berkolaborasi dengan rekan kerja, berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah, kreatif mengasilkan ide dan solusi, serta mampu menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh pekerja masa kini,” ungkap Mark Chaban, seperti dimuat technet.microsoft.com, Kamis (28/7/2016).
Namun sayangnya, sistem dan metode belajar yang digunakan saat ini kerap membuat siswa sulit untuk mengembangkan dan menguasai 5Cs. Hal ini dikarenakan, masih banyak sekolah di Indonesia yang menggunakan metode belajar konvensional atau teacher learning center.
Metode, yang tidak memberikan keleluasaan kepada anak didik untuk mengembangkan kemampuan sesuai bakat dan minatnya.
Dengan cara belajar seperti itu, maka lulusan yang dihasilkan pun tidak sesuai dengan tuntutan industri masa kini sehingga berakhir menjadi pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran Indonesia per Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 10.000 orang dari sebelumnya 7,03 juta orang pada Agustus 2016.
Data tersebut juga menunjukkan, jumlah pengangguran lulusan SMA dan SMK cukup menonjol. Lulusan SMA, misalnya, memiliki persentase 8,29 persen dari total pengangguran. Lebih memprihatinkan lagi, lulusan SMK menempati urutan tertinggi dengan persentase 11,41 persen.
Memanfaatkan teknologi
Padahal, pada era modern seperti saat ini, sekolah bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi digital untuk mengembangkan kemampuan anak didik.
Terlebih pelajar masa kini merupakan generasi Z. Generasi yang akrab dengan gadget dan internet karena lahir pada saat kedua teknologi ini sedang merajalela.
Mereka menggunakan perangkat tersebut tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sumber informasi, mempelajari hobi, memecahkan masalah, hingga sumber informasi.
Oleh karena itu, sekolah sebaiknya bisa menerima gadget dan internet ke dalam kegiatan belajar mengajar (KBN).
Sebagai contoh, guru bisa mengajak anak didik bermain game asah otak di gadget untuk mengembangkan kemampuan critical thinking dan problem solving-nya.
Lalu, menonton tayangan-tayangan inovatif di YouTube seperti “5-Minute Crafts” dalam upaya melatih anak berpikir kreatif dan out of the box.
Adapun untuk mengembangkan kepiawaian berkomunikasi anak, guru bisa memanfaatkan beragam platform digital seperti YouTube, Wordpress, atau Blogger.
Caranya adalah dengan memberikan tugas-tugas, seperti menulis artikel di blog, membuat vlog atau bahkan film pendek dengan dialog bahasa Inggris. Setelah itu, siswa bisa mengunggahnya di platform tersebut.
Metode-metode itu bisa digunakan apabila proses belajar mengajar di kelas telah didukung perangkat teknologi digital. Kelas seperti ini salah satunya terdapat di Samsung Smart Learning Class (SSLC).
Di kelas tersebut, siswa-siswi menggunakan tablet yang sudah terkoneksi dengan internet sebagai media belajar. Tablet juga sudah dilengkapi dengan e-learning beberapa mata pelajaran, aplikasi perpustakaan digital, dan aplikasi bimbingan belajar online sebagai media belajar.
Adapun guru di sana mempunyai peran penting untuk memastikan perangkat itu digunakan secara tepat dan sehat.
Nah, dengan cara didik seperti itu tentu akan membuat proses belajar dan mengajar di kelas menjadi lebih interaktif dan menyenangkan. Peserta didik pun jadi lebih semangat belajar dan mudah menyerap materi.
Alhasil, sekolah bisa menghasilkan lulusan berkualitas yang sesuai dengan tuntutan industri masa kini. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka bisa membuka lapangan kerja baru di masa mendatang.