KOMPAS.com - Berapa kali dalam sehari Anda melongok linimasa akun Instagram Anda? Tak terhitung?
Berapa kali dalam sehari Anda mengecek baju-baju, gawai, atau produk apa pun yang sedang "happening" di toko daring? Mungkin juga tak terhitung.
Rasa-rasanya itu adalah keseharian yang telah menjadi wajar saat ini. Walau sekilas terkesan wajar, dampaknya tak seenteng Anda kira.
Manusia modern atau yang selama ini dijuluki Generasi Milenial cenderung lebih cepat merasa tidak puas, bahkan putus asa dengan hidup mereka. Ini semua bisa diurut dari kebiasaan memakai media sosial.
Itulah yang ditangkap oleh Mark Manson, seorang bloger kenamaan asal New York. Baginya kehidupan saat ini menyediakan banyak fasilitas yang tidak pernah terbayangkan 30 tahun sebelumnya.
Ya, siapapun saat ini bisa mendapatkan ponsel dengan kekuatan setara empat buah komputer, berlangganan ratusan kanal televisi, dan bisa bepergian ke mana pun orang mau. Dalam hitungan menit, bahkan detik, semua bisa hadir di depan mata.
Namun, seiring dengan tiada terbatasnya hal-hal yang bisa diperoleh, tidak terbatas pula hal-hal yang bisa membuat orang merasa jelek, tidak sukses, putus asa, dan tidak bahagia. Seringkali, ini menyangkut hal-hal sepele.
Berputar pada hal sepele
Pernah Anda terjebak dalam keresahan Anda sendiri? Merasa tidak percaya diri dengan kulit Anda yang tidak putih? Anda begitu resah, karena kenyataan itu membuat Anda merasa tidak menarik. Begitu resahnya, sampai Anda tidak habis pikir hal itu harus dipikirkan.
Nah, sejenak kemudian, Anda jadi resah karena merasa bersalah, karena harus meresahkan hal yang Anda anggap sepele. Anda mengalami dua keresahan sekaligus!
Kemudian, keresahan itu terus memberati Anda, sebab Anda teramat resah lantaran tidak menemukan cara menyembunyikan keresahan tersebut.
Saat ini banyak orang berputar-putar dengan bermacam keresahan mereka. Padahal, yang diresahkan itu hanya hal-hal sepele. Bukan saja kulit yang tidak putih, orang-orang bisa saja meresahkan hal-hal lain seperti berat badan, merek pakaian, merek ponsel, hingga lengkung alis.
Gara-gara melihat postingan teman atau selebritas yang mereka ikuti di Instagram atau media sosial lain yang semua tampak menyenangkan, mereka jadi merasa kecewa sendiri.
Mereka lalu merasa hidupnya suram dan tidak menarik. Mereka mencoba menutupinya dengan membeli barang-barang paling keren, paling mahal, bahkan paling banyak, untuk dipamerkan, toh perasaan tidak puas masih terus datang.
Kondisi itu diperburuk dengan iklan dan media yang terus membobardir dengan pesan-pesan yang mengajak orang untuk mencari yang lebih lebih kaya, lebih modern, lebih menarik, lebih putih, dan sebagainya.