Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Hardiknas, Ki Hadjar, dan Perilaku Orangtua Hadapi “Technoference” Revolusi Industri 4.0

Kompas.com - 07/05/2018, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tiap-tiap rumah jadi Perguruan !
Tiap-tiap orang jadi Pengajar !
    
Demikian semboyan Ki Hadjar Dewantara dalam anjurannya mengenai “mobilisasi intellektuil nasional” yang ditulisnya delapan puluh dua tahun yang lalu di majalah “Keluarga” edisi bulan Desember tahun 1936.

Meski sudah jaman old, tapi relevansinya merentang hingga kini di tahun 2018. Ketika itu Ki Hadjar punya mimpi setiap orang yang terpelajar berbagi ilmunya dengan tidak meninggalkan karakter budaya nasionalnya, dimana saja, kapan saja untuk membangun karakter bangsa Indonesia.

Hari lahir Ki Hadjar Dewantara sendiri di tanggal 2 Mei 1889, dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar sendiri baru serius mempelajari dan terjun dalam dunia pendidikan dan pengajaran tahun 1922, setelah malang melintang menjadi aktivis politik radikal menentang penjajah dan berkali-kali ditangkap polisi, dibuang, dipenjara, dan dihukum kerja paksa.

Tulisan-tulisan Ki Hadjar kebanyakan berupa artikel, konsep, dan risalah pidato sejak tahun 1928 hingga wafatnya di tahun 1959. Ratusan artikel beliau sudah dibukukan oleh Taman Siswa menjadi dua jilid, satu jilid berjudul “Pendidikan” sejumlah 116 artikel, dan satu jilid lagi berjudul “Kebudayaan” berisi 67 artikel kebanyakan dalam bahasa Indonesia, sebagian kecil ada juga dalam bahasa Belanda.

Artikel-artikel tersebut menurut saya layaknya harta karun nasional yang harus diperbanyak dan didalami kembali setiap saat karena kedalaman pemikiran dan ide-idenya yang melampaui jamannya.

Pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, sudah pernah ada inisiatif untuk menerbitkan kembali kedua buku tersebut dan dibagikan pada semua guru se-Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya setelah beliau di-reshuffle. Semoga sudah terlaksana. Tapi minimal menteri yang sekarang juga menyebut-nyebut Ki Hadjar dalam pidato Hardiknasnya 2 Mei 2018 kemarin, sampai tiga kali. 

Memang sudah semestinya minimal setahun sekali kita selalu berefleksi dan mempelajari kembali setiap saat pemikiran-pemikiran Ki Hadjar yang menurut saya masih kontekstual dengan masa kini, meski belum semua impian beliau tercapai. Saat ini banyak sekali “pendekar-pendekar” pendidikan di sentero nusantara, mulai dari yang punya inisiatif mengajak mahasiswa menjadi guru di pedalaman, membuat perpustakaan keliling, yang kemudian menginspirasi kegiatan lain yang serupa, ada pula yang membuat aplikasi android dan video sebagai suplemen belajar anak dan sebagainya.

Namun menurut saya itu belum cukup, seperti semboyan Ki Hadjar di awal tulisan ini “Tiap-tiap orang menjadi pengajar!” Atau tidak usah tiap orang lah, minimal seperempat, atau malah sepersepuluh saja dari tiap orang yang berpendidikan di negeri ini bergerak untuk memberikan ilmunya, atau minimal memberikan contoh perilaku yang positif pada anak-anak.

Menurut saya itu sudah cukup untuk membantu Pak Menteri melaksanakan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) seperti disampaikan dalam pidato Hardiknas kemarin. Karena pendidikan tidak berhenti sebagai materi ajar di sekolah, apalagi pendidikan karakter.

Tidak bisa diajarkan melalui sekian jam pelajaran. Pendidikan karakter hanya akan terlaksana melalui contoh-contoh nyata dari perilaku orang-orang di sekitar kita. Kalau menggunakan konsep trisentra Ki Hadjar, alam pendidikan ada tiga. Alam-keluarga, alam-perguruan, dan alam-pergaulan. Contoh perilaku yang merefleksikan karakter ada di ketiga alam trisentra tersebut, tidak bisa hanya di sekolah (alam-perguruan). Pada lingkungan keluarga (alam-keluarga) dan pergaulan (alam-pergaulan).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+