KOMPAS.com - “Untuk saat ini dan masa dekade ke depan, kepemimpinan yang paling efektif adalah memimpin dari belakang dan bukan dari depan,” - Nelson Mandela.
Loh memang Ki Hadjar orang manajemen? Kok mengajarkan “leadership” segala? Itulah hebatnya beliau.
Sebelum terkenal sebagai tokoh pendidikan sebenarnya beliau adalah tokoh pergerakan. Beliau menjadi pemimpin salah satu organisasi modern pertama di Indonesia, termasuk mendirikan partai, Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo.
Maka tidak mengherankan bila konsep-konsep yang mendasari tulisan-tulisan beliau mengenai pendidikan tidak lepas dari pengetahuan dan pengalaman berorganisasi dan memimpin organisasi.
Salah satunya adalah konsep mengenai “Sistem Among”.
Saya terinspirasi menuliskan ini karena dalam sebuah training project management yang diinisiasi pimpinan, trainer mengatakan bahwa Ki Hadjar sudah punya konsep leadership yang lengkap melalui "Sistem Among" sejak tahun 1930-an. Sayangnya, belum banyak orang menggalinya lebih dalam.
Sistem Among dalam konsep leadership kekinian
Ada sebuah artikel menarik terbit dalam Harvard Business Review (HBR). Tulisan berjudul “How Humble Leadership Really Works” terbit pada bulan April 2018 dan ditulis Daniel “Dan” Cable, profesor Organizational Behavior dari London Business School.
Cable menjelaskan bahwa kekuasan (power) membuat kebanyakan pemimpin (pamong) dalam organisasi terobsesi pada hasil (outcomes) dan kontrol (control) sehingga mereka kurang memperhatikan anggota organisasi.
Dalam wawancara Cable dengan Forbes.com, Maret 2018, ia menyampaikan hal ini membuat setiap orang menjadi ketakutan; takut tidak mencapai target, takut tidak mendapat bonus, takut dipecat, dan lain-lain. Akibatnya, orang-orang berhenti merasakan emosi positif dalam bekerja,emosi positif yang mendorongan mereka untuk belajar dari berbuat kesalahan dan untuk bereksperimen dengan hal-hal baru.
Energi positif untuk cepat beradaptasi dengan perubahan (agile) menjadi tertahan (stifled), atau malah berhenti.
Cable memberi contoh penelitiannya pada sebuah perusahaan pengiriman makanan di Inggris. Perusahaan ini melakukan pengiriman susu dan roti pada jutaan konsumen setiap hari.
Awalnya para pimpinan perusahaan fokus pada efisiensi dengan mengurangi biaya dan ingin mempercepat pengiriman melalui upaya-upaya pengukuran kuantitatif (metric-driven effort). Hasilnya adalah bencana.
Hampir tidak ada karyawan tergugah, apalagi terinspirasi dengan inisiatif baru ini. Para sopir ekspedisi yang kebanyakan sudah bekerja puluhan tahun justru marah. Pendekatan kepemimpinan yang hanya melulu “top-down”, perintah dari atasan ke bawahan, sudah usang bahkan kontraproduktif.
Cable lalu mengusulkan perubahan. Kuncinya adalah bagaimana membuat karyawan merasa berkontribusi dan bersemangat sehingga termotivasi agar tujuan manajemen tercapai. Caranya adalah melalui kontribusi karyawan secara optimal.
Bukankah itu yang seharusnya ada dalam setiap organisasi? Anggota turut berkontribusi.
Pemimpin yang melayani
Untuk mencapai itu, salah satu cara adalah mengubah pola pikir atau mindset para pimpinan untuk menjadi pemimpin yang mengayomi (servant leaders).
Servant leaders dalam pengertian ini adalah pemimpin yang “melayani” karyawan untuk tumbuh, belajar dan menjadi teman untuk berkembang bersama. Pendeknya, servant leaders mempunyai keberanian untuk mengakui bahwa tanpa karyawan seorang pemimpin tidak ada artinya.
Mereka aktif mencari ide-ide dari tim, mampu menyeleksi ide-ide yang brilian, dan mendorong karyawan mewujudkannya.
Cable bersama tim konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) berusaha membantu mewujudkan ini. Hal pertama yang dilakukan adalah melatih para pimpinan untuk mendengar.
Ya benar, belajar “mendengar” saja.
Mereka melatih bagaimana manajer menanyakan pada karyawan. Melatih bagaimana menjadi seorang pimpinan yang seharusnya; untuk membantu karyawan bekerja lebih baik. Mereka kemudian mempraktikkan dalam situasi kerja langsung. Para manajer bertindak sebagai teman, di tengah-tengah karyawan bertanya dan mendengar respon mereka.
Tentu kita masih ingat salah satu konsep dalam Sistem Among adalah “Ing Madyo Mangun Karso”, di tengah-tengah membangun “karsa”. Satu tim, satu jiwa, rasa solidaritas.
Hasilnya? Setelah melalui beberapa penolakan dan sikap yang skeptis, salah satu sopir mengusulkan “Go-gurt”, brand Yogurt kemasan anak-anak untuk dikirimkan lebih pagi. Rupanya banyak anak-anak di Inggris minta produk tersebut untuk bekal ke sekolah.
Sopir yang lain mengusulkan sebuah cara pelaporan lebih cepat sehingga sopir ekspedisi tidak berlama-lama membuat laporan sehingga menyebabkan pengiriman terlambat. Dan seterusnya.
Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga diminta membantu mewujudkan untuk perusahaan. Perubahan-perubahan kecil begitu banyak dan mengubah organisasi secara keseluruhan.
Salah satu manager mengatakan “Awalnya kita berpikir sudah mengetahui seluruh hal, luar dan dalam. Pertemuan percakapan pelanggan mingguan kami sekarang lebih interaktif dan percakapan lebih jujur dan dewasa dalam pendekatan mereka. Rasanya sangat sulit menggambarkan dengan kata-kata melihat semua perubahan yang terjadi ini.”
Hadir di tengah-tengah
Contoh berikutnya dipraktikkan Jungkiu Choi, Head of Consumer Banking di Standard Chartered. Salah satu tugas utama yang diberikan ketika pindah dari cabang Singapura ke China adalah menekan para Branch Manager untuk melakukan efisiensi biaya.
Biasanya staf cabang akan bekerja berminggu-minggu dengan cemas menyiapkan data supaya bisa menjawab ketika Jungkiu datang.
Jungkiu mengubah pola kontrolnya. Alih-alih datang sesuai jadwal, Jungkiu datang tanpa memberi tahu. Ia datang lalu mengajak manajer dan karyawan cabang makan siang dan menanyakan keseharian yang terjadi di cabang.
Setelah itu secara informal ia menanyakan ide-ide untuk efisiensi. Ia ada di tengah-tengah mereka. Ing Madyo.
Jungkiu melakukan ini di lebih dari 80 cabang di 25 kota. Hasilnya? Dalam dua tahun, kepuasan nasabah naik 54%, dan komplain nasabah turun 29%.
Bagaimana dengan “Tut Wuri Handayani”?
Memimpin dari belakang
Bagaimana dengan filosofi: “Memimpin tidak selalu di depan tapi dari belakang memberi semangat para anggotanya”?
Hal ini saya temukan juga, masih dalam HBR pada sebuah tulisan yang terbit Mei 2010 berjudul “Leading from Behind” ditulis Linda A. Hill, profesor Business Administration dari Harvard Business School.
“Untuk saat ini dan masa dekade ke depan, kepemimpinan yang paling efektif adalah memimpin dari belakang dan bukan dari depan,” kata Nelson Mandela.
Dalam autobiografinya, Mandela mengatakan pemimpin yang baik bisa bertindak sebagai gembala membiarkan yang lebih cepat untuk di depan, tanpa mereka menyadari semua diarahkan dari belakang.
Apa maksudnya? Menurut Profesor Hill, dahulu seorang inovator seringkali bekerja sendiri dalam menemukan inisiatif-inisiatif yang berguna bagi orang banyak. Misal, Thomas Alfa Edison atau Nikola Tesla.
Saat ini, iPod atau Pixar tidak didirikan seorang individu, tapi sebuah tim melalui proses kolaboratif. Bahkan mungkin lebih dari satu tim mengerjakan bagian-bagian berbeda namun mampu bersama-sama menuju satu tujuan.
Hill mengatakan bahwa pemimpin bisa memunculkan ide-ide terobosan dengan membangun “komunitas” kreatif (communities that can innovate).
Pertama, pemimpin harus memastikan bahwa organisasi mau dan mampu untuk berinovasi. Ciri-cirinya adalah anggota diberikan penghargaan yang cukup dan diberikan kesempatan untuk berkontribusi serta memiliki tujuan utama yang jelas.
Kedua, pemimpin harus meningkatkan kemampuan organisasi. Secara spesifik Profesor Hill menyebutkan tiga hal yaitu “creative abrasion” yaitu kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru melalui diskusi dan debat. Berikutnya adalah “creative agility” berupa kemampuan untuk melakukan penyaringan dan ujicoba ide-ide yang muncul dengan cepat. Terakhir adalah “creative resolution” yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat dan terintegrasi.
Dari sini pemimpin memiliki peran tidak lebih besar daripada yang dipimpin, setidaknya secara kasat mata. Tujuan utama dari leading from behind adalah “pemimpin yang dapat memanfaatkan kekuatan jenius kolektif”. Singkatnya adalah bagaimana menciptakan ruang-ruang ide dan kemampuan untuk mengimplementasikannya dengan optimal untuk tujuan organisasi.
Memberi teladan
Tentu saja, konsep “tut wuri handayani” (di belakang memberi bimbingan-momong) dan “ing madyo mangun karso” (di tengah memberi semangat-among) tidak akan berjalan optimal bila tidak ada “ing ngarso sung tulodho”, yaitu pemimpin (pamong) yang bertindak sebagai contoh bagi anggotanya.
Memberi contoh, ngemong, tidak hanya secara kemampuan tapi juga secara etika dan moral.
Lagi dalam artikel HBR edisi Maret 2016 berjudul “The Most Important Leadership Competencies, According to Leaders Around the World”, kompetensi penting apa yang harus dimiliki seorang pemimpin?
Jawabannya adalah memiliki standard etika dan moral tinggi. Dari sini kita seharusnya bisa memanfaatkan pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai organisasi, baik di dalam perusahaan, sekolah, pemerintahan, bahkan dalam keluarga.
Caranya adalah membaca-baca kembali tulisan-tulisan beliau – pernah saya uraikan dalam artikel saya “Hardiknas, Ki Hadjar, dan Perilaku Orangtua Menghadapi “Technoference” Revolusi Industri 4.0”.
Para ahli dan ilmuwan perlu menggali lagi konsep dan teori-teori beliau untuk dikembangkan, didiskusikan, disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan diaplikasikan demi kemajuan bangsa dengan mewujudkan para pamong yang momong, among, dan ngemong sehingga tidak perlu minder dengan konsep-konsep asing.
Sumber :
https://hbr.org/2010/05/leading-from-behind
https://hbr.org/2018/04/how-humble-leadership-really-works
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.