Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Kenapa Kita Sebaiknya Tidak Memuji Anak dengan Kata “Pintar”?

Kompas.com - 23/07/2018, 18:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hanya strateginya harus kita perhatikan lagi.

Menurut sebuah penelitian yang terbit tahun 2006 di Jurnal "Social Cognitive and Affective Neuroscience" disebutkan ada 2 mindset, dua pola pikir yang tertanam pada anak.

Pola pikir ini berkembang pada masa sekolah dasar, bahkan sejak usia balita. Efeknya baru terasa ketika masa transisi menuju masa remaja.

Penelitian ini dilakukan pada 535 anak SMP. Sebagian anak meyakini inteligensi (biasanya ukurannya IQ, intelligence quotient) itu fixed, menetap, tidak berubah.

Sebagian lain meyakini bahwa inteligensi itu bisa berubah, meningkat (growth) apabila diberikan stimulus belajar dan sebaliknya. Sebagian yang lain tidak dikelompokan ke mana-mana, tidak pula dipantau nilainya, digunakan sebagai kelompok kontrol.

Terlalu percaya diri, lebih mudah menyerah

 

Kemudian kedua kelompok (fixed dan growth) dipantau hasil ujian sekolahnya. Pada setiap ujian, peneliti mencatat soal yang memiliki jawaban salah. Jawaban salah ini dikumpulkan, lalu mereka diminta mengerjakan kembali.

Hasilnya? Rata-rata hasil ujian anak dengan pola pikir fixed dan anak pola pikir growth sama.

Hal menarik terjadi pada nilai rata-rata kedua, yaitu ketika anak diminta mengerjakan lagi
jawaban-jawaban salah di ujian sebelumnya.

Kelompok anak dengan pola pikir growth memiliki rata-rata nilai jauh lebih tinggi. Kenapa bisa demikian? Anak-anak memiliki pola pikir ini punya daya juang lebih tinggi.

Mereka menganggap bahwa (jawaban ujian yang salah) sebagai tantangan berikutnya untuk diselesaikan. Bahwa bisa jadi suatu kali mereka belum bisa, tapi mereka yakin dengan
usaha atau belajar suatu saat pasti bisa.

Sebaliknya anak-anak fixed, mereka cenderung tidak percaya bahwa mereka tidak bisa. Pada suatu titik terlalu percaya diri, over-confident.

Namun ketika menghadapi kegagalan, apalagi kalau berkali-kali. Kepercayaan dirinya lebih mudah luntur, lebih mudah untuk menyerah. Atau sebaliknya menjadi defensif, menyalahkan kegagalannya pada semua hal diluar dirinya. Bisa kepada guru, soal, teman, atau yang lain.

Strategi memuji

Lalu apa hubungannya dengan puji-memuji? Ada. Kedua mindset atau pola pikir tadi tumbuh karena perbedaan strategi orangtua ketika mengapresiasi anak.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau