Orangtua yang memuji anak berdasarkan kemampuan kognitif, misalnya pintar, jenius, Wow nilaimu tinggi sekali, kamu pasti pintar sekali, akan sedikit demi sedikit menekankan bahwa anak memiliki kecerdasan fixed, permanen.
Kamu pintar, kamu jenius. Pilihan-pilihan kata itu merupakan kata sifat yang sudah “selesai”, tidak melihat proses.
Peneliti menyimpulkan bila anak sudah merasa dirinya pintar, lebih sulit percaya bahwa pada suatu waktu dirinya tidak bisa menjawab suatu persoalan.
Pada sisi lain, orangtua menekankan apresiasi pada anak dengan cara memuji prosesnya. Misalnya dari sisi usahanya, betapa fokusnya anak, strateginya hebat, atau kegigihannya.
“Wow nilaimu tinggi sekali, kamu pasti belajar keras tadi malam.” Hampir mirip dengan pujian pertama, namun fokus pada usaha anak untuk belajar.
Di sini orangtua akan menanamkan bahwa kerja keras itu penting, bahwa kecerdasan bisa tumbuh (growth) kalau anak berusaha.
Upaya ini akan membuat anak meyakini bahwa kesalahan, kegagalan itu hal yang biasa, merupakan bagian dari proses belajar. Mereka jadi lebih tahan banting menghadapi berbagai situasi.
Menyelesaikan masalah sendiri
Sekali lagi, saya percaya bahwa pujian “pintar” ini sekali-sekali mungkin tidak masalah dan akan membuat anak senang, percaya diri.
Tapi dalam jangka panjang bisa jadi memang ada bahayanya. Apalagi langsung merasa bangga ketika hasil tes IQ anak jauh di atas rata-rata. Lalu, anak meyakini akan selalu berhasil menghadapi setiap persoalan.
Mari kita apresiasi setiap usaha anak dan selalu memberi semangat pada anak menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang bisa anak hadapi sendiri.
Selamat Hari Anak, 23 Juli 2018.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.