KOMPAS.com - Masih banyak orangtua menginginkan anaknya begitu lulus Taman Kanak-kanak (TK) sudah bisa "calistung" (membaca, menulis dan berhitung).
Sejalan dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 1839/C.C2/TU/2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-kanak dan Penerimaan siswa Baru Sekolah Dasar, sebenarnya tidak diperbolehkan mengajarkan calistung pada anak usia dini.
Yang diperbolehkan hanya memperkenalkan saja.
1. Tuntutan orangtua
Namun agaknya sebagian besar lembaga Pendidikan Anak Uusia Dini (PAUD) di Indonesia masih memberikan calistung dalam proses pembelajarannya. Kenyataannya, sekolah yang mengajarkan calistung lebih banyak dicari daripada sekolah yang tidak mengajarkan.
Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik. Bahkan ada yang cenderung mengabaikan potensi non akademiknya.
Padahal semestinya peran guru sebagai fasilitator harus mampu menggali potensi akademik dan non akademik peserta didik sehingga peserta didik dapat mengeksplorasi pengetahuannya secara maksimal.
Baca juga: Mendikbud Imbau Guru Berikan PR yang Sesuai Kebutuhan Siswa
Terlebih pada anak usia dini struktur otaknya belum terbentuk secara sempurna. Karena itu semestinya konsep pembelajaran tidak hanya terpusat pada satu aspek perkembangan saja.
2. Enam aspek perkembangan
Menurut Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ada enam aspek perkembangan yang harus dikembangkan. Keenam aspek tersebut saling berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Adapun enam aspek itu ialah:
1. Aspek kognitif, berkaitan dengan proses berpikir anak.
2. Aspek motorik, segala sesuatu berhubungan dengan sensor gerak pada tubuh anak.
3. Aspek sosial dan emosional, terkait kemampuan mengendalikan diri, emosi, dan kepekaan terhadap lingkungan.
4. Aspek bahasa, berhubungan dengan kemampuan mengekspresikan perasaan secara lisan, serta bagaimana berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.