Literasi Media dan Kabar Bohong yang Beredar Cepat

Kompas.com - 21/08/2018, 11:32 WIB
Heru Margianto,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

Faktanya, ternyata banyak orang di dunia mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi apakah informasi yang mereka terima adalah informasi benar atau bohong. 

Penelitian yang dilakukan Edelman Trust pada 2018 mendapatkan, 59 persen responden mengalami kebingungan ini. Survei dilakukan terhadap 1.000 orang responden di 28 negara. 

Sebanyak 63 responden mengaku tidak tahu praktik jurnalisme yang baik itu seperti apa. Mereka bahkan tidak bisa membedakan antara platform (Google dan Facebook) dan media sebagai organisasi berita. 

Bagi mereka, yang disebut media adalah semua yang mereka temukan di internet: Google, Facebook, situs-situs di internet non-media mainstream termasuk di dalamnya. Hanya 49 persen yang mendefinisikan media terkait dengan jurnalisme.

Meski begitu, masyarakat di 21 negara mengaku mereka lebih mempercayai jurnalisme daripada platform. Hanya masyarakat di Brazil, Malaysia, Mexico, dan Turki, lebih percaya pada informasi yang mereka dapatkan di platform daripada kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan media tradisional arus utama.  

Literasi digital

Literasi digital adalah satu hal yang mengemuka dalam diskusi. Literasi dipahami sebagai kemampuan individu untuk bersikap kritis terhadap informasi yang ia terima.

Direktur Operasional Digital MGR Online, Thailand, Varit Limthongkul mengatakan, selama ini literasi selalu dikaitkan dengan topik jender. Padahal, aktivitas di media sosial juga membutuhkan literasi yang memadai.

“Ini mengerikan. Literasi tidak lagi terkait dengan pendidikan. Seorang profesor pun hari ini terjebak ikut menyebarkan berita bohong,” kata dia.

Co-founder sekaligus Pemimpin Redaksi Malaysia.com Steven Gan menambahkan, literasi digital adalah sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum sekolah.

“Bagaimana kita bersikap terhadap informasi yang kita tonton di Youtube, kita lihat di Facebook, Twitter? Ini keterampilan hidup yang tidak pernah diajarkan di sekolah,” kata dia.

Para peserta seminar sepakat harus ada aksi yang dilakukan untuk mengedukasi publik. Namun, tidak hanya publik yang harus diedukasi. Wartawan pun perlu mendapatkan pendidikan soal literasi digital.

Media online banyak dikeluhkan karena meninggalkan prinsip-prinsip etik jurnalistik. Demi klik, alih-alih menjadi batu penjuru informasi, media online malah mengamplifikasi kabar bohong yang tersebar di media sosial.

Pendiri thmeythmey.com, Kamboja, Ky Soklim, menceritakan, di negaranya masyarakat lebih percaya pada informasi yang mereka dapat di media sosial.

“Kita ingin meluruskan informasi yang salah, tapi mereka tidak lagi percaya. Eksistensi media menjadi tantangan serius di Kamboja,” tutur dia.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau