KOMPAS.com - Banyak orang tua mengkhawatirkan prestasi yang diraih anak atau khawatir terhadap masa depan anak saat dewasa. Tidak jarang sikap ini secara tidak sadar diikuti dengan membandingkan dengan anak orang lain.
Dengan kekhawatiran itu, orang tua seringkali menerapkan berbagai strategi dan stimulasi melalui kursus-kursus serta kegiatan edukatif lainnya. Tujuannya, agar anak berprestasi sehingga diharapkan mampu memupus kekhawatiran orang tua.
“Ketika didapati anak tersebut tidak berhasil mencapai target atau prestasi yang diharapkan, orang tua kebingungan. Tidak jarang ia menambah berbagai kegiatan yang dianggap bisa meningkatkan prestasi, menyalahkan sekolah dan menganggap sekolah tidak mampu mendidik anaknya,” jelas Kepala Sekolah Dasar Olifant Jogjakarta, Mariana Hastuti, seperti dikutip dari Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Baca juga: 5 Alasan Denmark jadi Acuan Sistem Pendidikan Dunia
Cara yang dilakukan orang tua itulah yang menurut Mariana disebut pola pengasuhan hyper parenting atau pola asuh lebay (berlebihan).
Mariana menjelaskan, pengertian hyper parenting merupakan usaha yang dianggap "baik" dan dilakukan orang tua dalam pola pengasuhan. Tujuannya untuk memberikan stimulasi "positif" kepada anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau kemampuan anak tersebut.
Mariana memberikan ciri-ciri orangtua yang mulai dihinggapi "pola asuh lebay":
Menurut Mariana, ada efek penerapan hyper parenting bagi anak-anak, antara lain:
“Anak mungkin terlihat menikmati dan senang dengan aktifitas berlebih yang mereka jalani. Mungkin juga mereka sebenarnya tidak menikmati namun mereka tetap menjalaninya karena ingin menuruti orangtuanya,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.