Jawaban teknisnya mungkin saat ini belum ada. Akan tetapi di era yang semakin serba digital, saya percaya solusi teknis atas masalah ini dapat ditemukan.
Demi catatan sejarah
Namun, agar jawabannya dapat segera ditemukan, harus ada dialog antara praktisi ilmu tentang masa lalu dengan praktisi ilmu tentang masa depan.
Harus ada diskusi antara sejarawan dengan para pakar teknologi informasi dan perusahaan jejaring media sosial, terkait mekanisme penyelamatan data unggahan para pengguna, untuk kepentingan penelitian sejarah di masa depan.
Bahkan, sebaiknya diskusi turut melibatkan pemerintah. Sebab, kalaupun berbagai data yang ada nantinya bisa diselamatkan saat layanan media sosialnya berhenti beroperasi, secara komersial sulit membayangkan ada pihak swasta yang secara sukarela menyimpan semua data tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika ada harapan agar pemerintah turut berperan, seperti peran yang dilakukan oleh ANRI saat ini dalam menyimpan dan mengkurasi berbagai sumber sejarah dari masa kolonial Belanda.
Kita tentu ingin anak cucu cicit kita nantinya tetap dapat belajar dari sejarah. Belajar dari rangkaian peristiwa yang kita alami sekarang.
Agar itu dapat terjadi, tentu kita ingin di masa depan nanti para penulis sejarah memiliki akses terhadap berbagai sumber yang dapat menunjukkan seakurat mungkin apa yang sedang kita alami sekarang.
Memang ada jenis sumber-sumber lainnya yang akan dapat digunakan nanti untuk penulisan sejarah. Walaupun begitu, akan terasa aneh saat kita menulis sejarah dalam periode kehidupan manusia yang digital tanpa adanya sumber dari kehidupan digital kita sendiri.
Sudah saatnya masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu agar jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah di era digital.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.