Menyingkap Sejarah Peranakan Tionghoa dalam Pendidikan Nasional

Kompas.com - 09/12/2018, 19:59 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Sejak masa penjajahan hingga timbulnya kesadaran Pergerakan Nasional telah banyak kelompok dan golongan menghadirkan pendidikan di wilayah nusantara dengan ciri khasnya masing-masing.

Salah satu kalangan turut menggoreskan tinta sejarah dunia pendidikan nusantara adalah Peranakan Tionghoa. Sayangnya, fakta ini belum banyak diketahui banyak kalangan. Belum banyak literatur atau diskusi mengangkat fakta sejarah ini.

Atas dasar itu, Sekolah Terpadu Pahoa menyelenggarakan seminar berjudul “Menyingkap Sejarah Peranakan Tionghoa dalam Pendidikan Nasional”, di Auditorium Chong Yuan TK Pahoa, Serpong, Sabtu (8/12/2018)/

Seminar dihadiri pakar sejarah, praktisi dan pemerhati pendidikan tanah air. Sinolog Indonesia Myra Sidharta turut hadir dalam seminar ini.

Seminar dibuka oleh Ketua Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Pahoa, Yoedono Goeinawan. Dalam sambutannya, Yoedono menyampaikan harapannya agar seminar ini dapat menambah pengetahuan baru bagi para peserta mengenai sejarah Peranakan Tionghoa dalam Pendidikan Nasional.

Lembaga pendidikan pertama

Berdirinya Perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di awal 1900 yang memprakarsai berdirinya Sekolah THHK/Pa Hoa di tahun 1901 menyimpan sejarah penting tersendiri.

Baca juga: Jadi Salah Satu Fokus Pembangunan, Apa Kabar Pendidikan Tinggi di Indonesia?

 

THHK/Pa Hoa merupakan lembaga pendidikan pertama di nusantara yang menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti, juga pionir yang menghadirkan lembaga pendidikan bernuansa modern di wilayah nusantara.

Ahli Sejarah Didi Kwartanada memaparkan bahasan awal mula berdirinya THHK dalam kondisi sosial awal tahun 1900-an. Saat itu, terjadi segregasi masyarakat era kolonial.

Kendati masuk ke dalam golongan masyarakat “kelas dua”, berdirinya THHK yang diprakarsai para kaum terpelajar Tionghoa mampu menginspirasi begitu banyak kalangan pada saat itu.

Dr. Abdoel Rivai, pengasuh bacaan mingguan “Bintang Hindia” pada era itu memuji persatuan golongan Tionghoa, seperti yang dilakukan para penggagas di THHK dalam upaya mereka mengejar kemajuan hidup untuk menyamai kemajuan golongan Eropa.

Didi membandingkan, semangat yang sama juga telah dibawa para alumni Sekolah Pa Hoa lama yang pada tahun 2008 mendirikan kembali “Sekolah Terpadu Pahoa”.

Sentimen ras mengubur kebudayaan

Pemahaman sejarah golongan Tionghoa di tanah air juga dibawakan oleh Aprianif, Dosen sekaligus Kaprodi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Islamic Village.

Sentimen ras yang pernah membatasi secara ketat segala unsur kebudayaan Tionghoa di Indonesia pada akhirnya mengubur kekayaannya di mata masyarakat.

Kenyataan ini sangat disayangkan, maka darinya dapat diambil sebuah pembelajaran. “Mari bersama menggali sejarah dan belajar dengan benar, agar tidak ada lagi sikap intoleransi yang disebabkan oleh kebodohan-kebodohan kita sendiri,” ujarnya.

Pembahasan diperkaya lagi dengan pemaparan Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Museum yang didirikan pria berdarah Aceh pada tahun 2011 ini telah menjadi pusat dokumentasi dan sumber informasi bagi para akademisi dari dalam dan luar negeri.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau