Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Ternyata, Kita Rindu Bung Hatta...

Kompas.com - 15/04/2019, 18:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

Pemimpin tidak cukup hanya memiliki ilmu. Dia juga harus pandai meramu dan meracik ilmu itu, bak seorang apoteker.

Banyak ahli hukum teritorial di negeri ini, tak terhitung ahli ekonomi dan pakar bidang aquaculture dan juga ahli pengindraan jarak jauh. Namun, kita belum memiliki "juru racik" yang piawai untuk membuat racikan yang mampu merubah predikat negara kepulauan menjadi negara maritim tangguh.

Bung Hatta adalah seorang peracik ilmu. Dia tak puas hanya dengan ilmu ekonomi yang digelutinya di Handelshogeschool atau Sekolah Tinggi Bisnis di Rotterdam yang sekarang dikenal sebagai Erasmus University of Rotterdam.

Jauh sebelum ada konsep intradisciplinary, interdisciplinary dan transdiciplinary, Bung Hatta sudah asyik berselancar dalam dunia multidisiplin.

Ya, gagasannya tentang ekonomi kerakyatan dan pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda pada 1949 adalah beberapa hasil "racikan" ilmu dan keahlian Hatta.

Baginya, memimpin adalah membangun demokrasi. Hatta juga seorang politikus. Tapi, ia berpolitik dengan cara seorang scholar.

Dia lebih percaya membangun demokrasi dengan kaderisasi melalui pendidikan. Tanpa gegap gempita orasi dan pawai, tak perlu bersandar pada dalil ketokohan.

Bagi Hatta demokrasi politik tak akan berjalan tanpa demokrasi ekonomi. Memimpin tidak harus selalu dikerumuni dan dielu-elukan rakyat. Namun, kebijakannya harus selalu prorakyat. Itulah arti sebenarnya Kedaulatan Rakyat.

Namun, pemimpin tidak menggagas ide usang. Dia mampu mentransformasikan bangsa.

Bung Hatta hanya butuh 13 tahun setelah pledoi Indonesie Vrij dilantangkan di Den Haag untuk mengantar negeri ini kepada kemerdekaan. Buah pikirnya menuai berbagai karya monumental seperti naskah proklamasi dan landasan konstitusi ekonomi kerakyatan dalam UUD 1945.

Tutur yang tertatar

Lisan dan sikap Bung Hatta terjaga. Dia tidak menggebu dan bergemuruh, namun sanggup menujam kalbu.

Tutur kata Hatta lembut. Walau akhirnya ia undur diri dari pemerintahan, tak pernah ia mengkritik Soekarno secara frontal di muka publik.

Dia juga dikenal luwes berdiplomasi, bak seorang gelandang dalam kesebelasan. Namun, Bung Hatta dapat menyerang bak seorang striker dengan tikaman tajam narasinya.

Tulisan-tulisan dahsyatnya ada di Majalah Hindia Poetra yang dirintisnya dengan para pelajar Indonesia di Belanda. Itu adalah amunisi perjuangannya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau