KOMPAS.com - Dalam sebuah seminar nasional tahun 2018 lalu, dipaparkan profil lima tokoh di Indonesia yaitu Rudi Habibie, Rudi Khoirudin, Rudy Hadisuwarno, Rudy Hartono, Rudi Salam.
Keempatnya adalah para ahli di bidangnya masing-masing. Namun yang menarik, ketika ditanya siapakah diantara kelimanya yang dapat disematkan sebagai jenius, hampir semua mengatakan bahwa Rudi Habibie adalah yang paling jenius di antara kelimanya.
Cara pandang inilah yang menjadi salah satu tantangan dalam memajukan dunia vokasi Indonesia.
Stigma label gelar “jenius” hanya diperuntukkan bagi individu-individu yang memiliki latar belakang akademik, yang juga dipersepsikan akan memiliki masa depan yang lebih cerah, membuat selama hampir 70 tahun Indonesia merdeka, pendidikan vokasi tidak menjadi pilihan bagi anak-anak muda untuk menjadi pijakan karir mereka.
Situasi ini tidak terjadi di negara-negara maju, khususnya Eropa. Di Eropa, pendidikan vokasi merupakan alat utama dalam melakukan transformasi ekonomi (Bordeaux Communiqué, 2008).
Baca juga: “Soft Skill”, Modal yang Tak Bisa Ditawar pada Era Disrupsi Digital
Kondisi ini tercipta karena paling tidak dua faktor. Pertama, pendidikan vokasi mempersiapkan individu dengan ketrampilan yang cukup untuk dapat diterapkan di dunia kerja, sehingga pengaruh ini memberikan dampak langsung terhadap produktivitas pekerja yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.
Di saat para pekerja memiliki ketrampilan minimum dibutuhkan industri, maka pekerja tidak harus menjadi ‘pemadam kebakaran’ di dalam tugas kesehariannya, yang didodong karena rendahnya ketrampilan dan kompetensi yang dimiliki (Kirby & Riley, 2008).
Faktor kedua ialah kemampuan pendidikan vokasi dalam mempromosikan terciptanya inklusi sosial, karena mampu mengurangi hambatan-hambatan yang tercipta di dunia pendidikan dan pelatihan.
Sayangnya, keunggulan pendidikan vokasi tidak sepenuhnya dipahami para pembuat kebijakan.
Bahkan dalam konteks Inggris, seakan-akan terjadi ‘amnesia berjamaah’ dari para pembuat kebijakan, politisi dan bahkan pendidik di Inggris akan manfaat besar pendidikan vokasi, yang telah membawa Inggris memimpin Revolusi Industri di masa lalu.
Dalam studi Left-Leaning Institute di Inggris misalnya, ditemukan fakta Inggris lebih banyak mendidik anak mudanya untuk dapat memiliki capaian tinggi di bidang akademik dan mengabaikan pendidikan vokasi yang dibutuhkan untuk mensuplai tenaga kerja terampil.
Label bahwa universitas dan pendidikan akademik masih menjadi ‘karpet merah’ untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, terus dikumandangkan semenjak tahun 1999. Tony Blair, Perdana Menteri pada saat itu misalnya, mengumumkan rencananya untuk memastikan bahwa 50% anak muda di Inggris harus menempuh pendidikan di universitas.
Ditambah aturan bahwa penilaian kinerja sekolah salah satunya melalui seberapa besar sekolah mampu memastikan peserta didiknya mengejar pendidikan akademik di universitas.
Angka partisipasi masyarakat Inggris di universitas sebesar 49%, yang jauh lebih tinggi dari Singapura, yang justru lebih memprioritaskan pada pendidikan vokasi.
Situasi ini melahirkan seperlima dari para pekerja di Inggris yang memiliki kualifikasi di atas rata-rata, dari yang dibutuhkan profesi yang ditekuni. Artinya terjadi surplus kualifikasi pada profesi-profesi yang menyediakan lapangan kerja.
Studi menunjukkan sekitar 5.6 juta pekerjaan yang tersedia, tidak membutuhkan gelar akademik, namun ketrampilan siap pakai.
Padahal di sisi lain, ekonomi Inggris mengalami kesulitan dari ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kemampuan para pekerjanya (mismatch).
Studi dilakukan City & Guilds misalnya menunjukkan 68 persen anak muda berencana masuk ke universitas, dimana hanya 30 persen pekerjaan membutuhkan gelar akademik. Studi lain menunjukkan 59 persen lulusan universitas bekerja pada sektor yang tidak membutuhkan gelar akademik.
Dalam konteks Indonesia, obsesi terhadap pendidikan tinggi begitu kuat. Pendidikan Vokasi yang dimulai dari pendidikan kejuruan di tingkatan pendidikan dasar (SMK), yang kemudian dilanjutkan di Tingkat Pendidikan Atas melalui D1- D4, Master dan Doktor Terapan tidak banyak tersosialisasikan dengan baik.
Muncul persepsi di publik bahwa pendidikan vokasi, khususnya kejuruan di tingkat SMK adalah pendidikan kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang tidak akan mampu meneruskan pendidikan ke universitas misalnya.
Lain lagi di tingkat universitas. Pendidikan vokasi - D3 misalnya, dalam praktiknya menjadi pendidikan S1 minus satu tahun, dimana kurikulumnya belum mencerminkan kurikulum pendidikan vokasi yang kuat di praktikum.
Sehingga ini kemudian membuat pendidikan vokasi di pendidikan tinggi dinilai belum berhasil mencetak tenaga terampil siap kerja di Industri.
Meskipun demikian, peminat pendidikan vokasi terus bertambah. Pada tahun 2017 jumlah sekolah SMK mencapai 13.710 dengan jumlah siswa 4,9 juta siswa (Mujiono, 2018).
Sayangnya, sebesar 74,3 persen SMK diselenggarakan pihak swasta yang belum mampu menyediakan fasilitas pembelajaran praktikum memadai (laboratorium praktik lengkap dengan peralatan modern, pengajar professional dari industri; pelatihan-pelatihan; peralatan praktik yang sesuai dengan jumlah siswa; dan sebagainya).
Kurangnya fasilitas ini menyebabkan siswa SMK lebih banyak mendapatkan materi teori daripada praktik. Sehingga, tujuan untuk mempersiapkan menjadi pekerja terampil, jauh dari harapan.
Berbagai tantangan ini dalam kurun waktu 4.5 tahun ini sudah mengalami banyak perubahan. Pemerintah memberikan banyak perhatian kepada dunia vokasi Indonesia.
Kementerian Perindustrian misalnya, melakukan upaya membina SMK dengan menugaskan industri membina lima SMK dan melakukan kordinasi penyesuaian kurikulum SMK yang berkiblat pada kebutuhan DUDI (Dunia Usaha, Dunia Industri).
Dari 36 kompetensi keahlian terkait Industri yang terdapat kesamaan dengan keahlian SMK, telah diselaraskan sebanyak 34 kompetensi dan modul (Mujion, 2018).
Tidak hanya itu, kebutuhan akan fasilitas praktik juga terus ditingatkan melalui kerjasama dengan industri. Tidak hanya kementerian juga telah mengusulkan pemberian insentif fiskal berupa pengurangan pajak penghasilan bagi industry yang melakukan penguatan vokasi industri, meliputi pembangunan teaching factory misalnya.
Belajar dari trend global di Inggris dan Eropa, pendidikan vokasi perlu melakukan proses re-branding citra. Untuk itu dibutuhkan lebih banyak dialog dengan kalangan lebih luas.
Perlu ada upaya membangun lebih banyak narasi tentang vokasi kepada publik yang belum memiliki pengetahuan dan wawasan tentang pendidikan vokasi. Perlu ada perayaan terhadap profesi – profesi baru di dunia vokasi (Rahmawati, 2018).
Tantangan terbesarnya ialah sering kali justru bagaimana caranya sekolah kemudian mengkomunikasikan tentang opsi pendidikan vokasi kepada para orang tua dan orang-orang muda.
Situasi yang menyedihkan ialah harapan tersebut tidak dapat terwujud karena sekolah umum sering kali melihat pendidikan vokasi sebagai kompetitor dan rendahnya pengetahuan para guru tentang kualifikasi dan karir di bidang vokasi.
Dibutuhkan aksi sistematis untuk mempromosikan pendidikan vokasi baik dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik konvensional maupun digital (Rahmawati, 2018).
Meskipun keberadaan sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi diploma masih dipandang sebelah mata, data Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan tahun 2008 (PH, 2011) berhasil memotret adanya hubungan positif antara jumlah siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan produk domestik regional bruto (PDRB).
Mari tahun ini, kita jadikan momentum kebangkitan pendidikan vokasi Indonesia, untuk meraih masa depan bangsa yang lebih gemilang.
Penulis: Dr. Devie Rahmawati, M.Hum., CPR, Kepala Program Studi Vokasi Humas UI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.