Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SEAMEO dan Jalan Terjal Entaskan Stunting di Indonesia

Kompas.com - 25/05/2019, 13:08 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengungkapkan prevalensi stunting di Indonesia masih pada angka 30,8 persen. Itu artinya, hampir 1 dari 3 anak Indonesia masih didapati masalah stunting yang terkait tumbuh kembang dan gizi.

Angka stunting atau pendek ini jauh lebih mengawatirkan dan jauh lebih tinggi pada prevalensi global, yaitu 21,9 persen. Bahkan di kawasan ASEAN, Indonesia menempati peringkat tertinggi ke-2 setelah Timor Leste untuk soal stunting ini.

Terkait hal itu, Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) sebagai organisasi bidang pangan dan gizi kerjasama menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggara mengadakan diskusi “Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045” di Gedung SEAMEO, Kedokteran UI Salemba, Jakarta (24/5/2019).

Potensi bahaya trans-generasi

Grace Wangge, Manajer Riset dan Konsultasi SEAMEO RECFON mengingatkan dalam jangka panjang, stunting tidak hanya mengakibatkan masalah pada masa depan balita stunting itu sendiri.

Baca juga: 7 Tantangan Pendidikan Indonesia, dari Stunting sampai Pengangguran

Stunting akan menjadi masalah trans-generasi, dimana ibu yang pendek, cenderung akan mempunyai juga anak yang stunting”, ujar peneliti yang juga dokter lulusan UI ini. 

Grace menambahkan, “Di usia produktifnya kelak, balita stunting akan mempunyai daya saing yang lebih rendah dibandingkan sumber daya manusia (SDM) negara lain yang memiliki balita sehat karena rendahnya fungsi kognitif mereka.”

Hal senada ditegaskan Umi Fahmida, peneliti utama SEAMEO RECFON. "Stunting merupakan 'silent killer'. Tidak seperti penyakit lain yang langsung kita rasakan dampaknya, stunting memengaruhi tumbuh kembang anak dan kesehatannya hingga masa dewasa," ujar Umi kepada Kompas.com.

"Berdasarkan hasil penelitian, anak stunting memiliki income learning (kemampuan menyerap pembelajaran), 25 persen lebih rendah dibandingkan temannya yang lain," ujarnya.

Umi menambahkan, stunting akan menghambat pertumbuhan otak yang memengaruhi perkembangan kecerdasan anak dan juga meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes dan penyakit lain karena pertumbuhan yang terhambat mengakibatkan kelainan sel pankreas.

'Batu ganjalan' "Indonesia Emas" 

SEAMEO memberikan catatan penting, stunting - yang antara lain ditandai tubuh pendek tidak sesuai dengan usia dan masih menjadi masalah gizi utama bagi balita di Indonesia - harus segera dientaskan dalam mempersiapkan "Generasi Emas Indonesia 2045".

Grace menjelaskan, “Di usia produktifnya kelak, balita stunting akan mempunyai daya saing lebih rendah dibandingkan sumber daya manusia (SDM) negara lain yang memiliki balita sehat karena rendahnya fungsi kognitif mereka.”

Dalam diskusi dipaparkan, prevalensi stunting tertinggi di atas 40 persen, berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.

Angka 30-40 persen stunting masih ditempati provinsi Aceh, Sumatera Barat, Lampung, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Papua. P

Provinsi lain memiliki tingkat prevalensi 20-30 persen. Bali menjadi satu-satunya provinsi dengan prevalensi stunting kurang dari 20 persen.

Grace juga menjelaskan, untuk mengatasi masalah stunting, pendidikan gizi kepada publik menjadi sangat penting untuk dilakukan. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com