KOMPAS.com – Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem zonasi 90 persen pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri terus menuai polemik.
Sebagian besar masalah itu dialami para orangtua dan putra-putrinya yang tengah mencari sekolah baru selepas lulus dari TK, SD, atau SMP.
Mereka merupakan obyek yang secara tidak langsung menjadi sasaran pembuat kebijakan dalam Permendikbud ini, khususnya untuk Pasal 16 Ayat (1) dan (2) tentang Sistem Zonasi.
Beberapa permasalahan terjadi di tengah masyarakat dalam rangka mendapatkan sekolah baru dengan kualitas unggul.
Informasi adanya pemandangan antrean mengejar formulir PPDB di sekolah-sekolah beberapa hari ini kerap berseliweran di media sosial.
Antrean itu adalah para orangtua atau wali siswa yang ingin mendapatkan nomor formulir yang jumlahnya terbatas untuk anaknya mendaftar sekolah.
Pendaftar dengan nomor formulir yang lebih kecil, menjadi prioritas panita sekalipun nilai murid pendaftar lebih kecil daripada pendaftar nomor antrean selanjutnya.
Perjuangan mengantre formulir seperti ini salah satunya dialami oleh warga di Depok, Jawa Barat, bernama Rismawati Sitepu yang akan mendaftarkan anaknya ke SMAN 6 Depok.
Ia datang ke sekolah pada pukul 05.00 pagi dan mendapatkan nomor antrian 55. Itu berarti sudah ada 54 pendaftar yang datang sebelum dirinya.
"Saya kaget juga datang pukul 05.00 pagi ternyata antrean sudah nomor 55. Tanya teman yang lain, ada yang jam 03.00 pagi sudah datang terus dapat nomor 17,” ucap Rismawati.
Baca juga: Antre dari Pukul 05.00, Kekagetan Orangtua Siswa soal Sistem Zonasi PPDB
Perjuangan lain demi bisa mendapatkan sekolah negeri impian harus ditempuh dengan cara mengganti alamat domisili ke sekitar sekolah.
Alamat sangat mempengaruhi peluang seorang siswa untuk diterima di sebuah sekolah, semakin dekat jarak rumahnya, semakin besar pula peluang diterima.
Temuan ini disampaikan oleh Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah II Jawa Barat Dadang Ruhiyat.
"Sekarang banyak yang mengubah domisili si anak ke yang dekat dengan sekolah yang dituju," kata Dadang.
Tidak hanya pindah domisili, bahkan ada juga orangtua siswa yang memanipulasi alamat di Kartu Keluarga (KK).