Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Ekosistem Riset Indonesia-Diaspora Berdampak Global

Kompas.com - 19/08/2019, 21:51 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Kolaborasi dan optimalisasi dana penelitian/riset menjadi dua pokok bahasan yang mengemuka dalam diskusi "Pembangunan Ekosistem Riset Nasional, Pengelola Dana Penelitian Indonesia" yang digelar Kemenristekdikti di Gedung Kemenristekdikti di Jakarta (19/8/2019).

Acara ini merupakan rangkaian SCKD (Simposium Cendikia Kelas Dunia) akan digelar pada 18-25 Agustus 2019 dan diikuti sebanyak 52 ilmuwan diaspora dari 18 negara.

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekditi Muhammad Dimyati memberikan apresiasi positif atas masukan yang diberikan ilmuwan diaspora dalam "Diskusi Kebijakan Pembangunan SDM Indonesia Bersama Ilmuwan Diaspora". 

"Saya kira sangat bagus ilmuwan diaspora dapat menyampaikan informasi yang mereka alami di negara masing-masing mereka berada. Itu bisa memperkaya implementasi kebijakan kita," ujar Muhammad Dimyati.

Membangun ekosistem riset

Melalui Harian Kompas, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan, "Menyadari bahwa riset merupakan kebutuhan mendasar yang dibutuhkan untuk peningkatan produktivitas nasional yang unggul dan berdaya saing, pemerintah akan mengalokasikan dana abadi untuk penelitian."

Baca juga: Memanggil Diaspora Pulang, Jadi Agen Penguatan SDM Indonesia

Dana ini nantinya akan digunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas riset, terutama pada riset dan penelitian yang memiliki potensi multiplier effect yang besar.

"Di sinilah diaspora dapat mengambil peran dalam memberi masukan-masukan positif apa saja yang dapat diaplikasikan berdasarkan pengalaman mereka untuk membangun ekosistem penelitian yang kondusif sehingga bangsa Indonesia dapat lebih maju dan memiliki daya saing," ujar Dimyati.

Dia juga menyampaikan, "Kolaborasi riset akan mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional dan kita telah memiliki prioritas riset nasional yang dituangkan dalam RPJMN 2020-2024 sehingga acuan kerja sama dengan diaspora pun juga akan merujuk rencana induk ini."

Optimalisasi anggaran

Diskusi Pembangunan Ekosistem Riset Nasional, Pengelola Dana Penelitian Indonesia yang digelar Kemenristekdikti bersama ilmuwan diaspora SCKD di Gedung Kemenristekdikti di Jakarta (19/8/2019).DOK. KOMPAS.com/YOHANES ENGGAR Diskusi Pembangunan Ekosistem Riset Nasional, Pengelola Dana Penelitian Indonesia yang digelar Kemenristekdikti bersama ilmuwan diaspora SCKD di Gedung Kemenristekdikti di Jakarta (19/8/2019).

Undangan kolaborasi ini mendapat tanggapan positif dari ilmuwan diaspora, di antaranya Bagus Muljadi, ilmuwan diaspora lulusan ITB yang kini menjadi Assistant Professor of Engineering, University of Nottingham, Inggris dan turut mengadministrasi lebih dari Rp 200 milyar dana riset dari pemerintah UK dan Eropa.

"Dalam diskusi ini kami mendapat informasi dan penjelasan langsung dari intern Kemenristekdikti bila selama ini hanya mendengar informasi dari luar saja sehingga teman-teman diaspora dapat membantu membagikan berita lebih positif perihal riset dan penelitian di Indonesia," ujarnya.

Bagus juga melihat, penekanan kerja sama riset bukan hanya fokus jumlah anggaran namun juga pada pengoptimalan penggunaan anggaran itu sendiri.

"Teman-teman di Indonesia ini memang harus bisa memetakan soal apa saja yang perlu menjadi prioritas dalam penelitian yang memberi dampak pada masyarakat. Mana yang penting dan krusial untuk dicarikan solusinya, karena bantuan dana riset dari luar negeri akan juga memperhatikan apa yang paling krusial atau masalah pokok negara tersebut," tegasnya.

Bangun Indonesia dari dunia

Ilmuwan Diaspora Indonesia peserta Simposium Cendekia Kelas Dunia 2019 saat berkunjung ke Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia pada 19 Agustus 2019.DOK. DITJEN SDID KEMENRISTEKDIKTI Ilmuwan Diaspora Indonesia peserta Simposium Cendekia Kelas Dunia 2019 saat berkunjung ke Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia pada 19 Agustus 2019.

Bagus juga menilai adanya lembaga riset yang tersentralisasi namun bersifat kolaboratif dan interdisipliner atau lintas keilmuan akan dapat memangkas biaya operasional besar di banyak lembaga sehingga dapat fokus membangun ekosistem riset dan penelitian seperti banyak negara maju seperti Inggris, Amerika dan bahkan Malaysia.

Pada hari yang sama (19/8/2019), ilmuwan diaspora Indonesia peserta SCKD 2019 juga berkesempatan berkunjung ke Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. 

Dalam kunjungan tersebut, Wakil Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa diaspora Indonesia tak perlu harus pulang. Ia menyilakan diaspora untuk pergi jauh ke mana pun untuk belajar dari negara-negara lain.

Menurutnya, hal ini juga dilakukan diaspora Tiongkok, India, bahkan Filipina. Namun, justru itulah yang membuat negara mereka maju. Ilmuwan diaspora diharapkan menjadi jembatan antara Indonesia dan kemajuan global untuk membangun Indonesia dari dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com