Ironi Matematika: Juara di Olimpiade Miris di Peringkat PISA, Ada Apa?

Kompas.com - 29/08/2019, 10:47 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Kemenangan siswa Indonesia diberbagai ajang olimpiade termasuk dalam Olimpiade Matematika Internasional atau "International Mathematical Olympiad (IMO) 2019 lalu.

Sebanyak enam medali yang terdiri dari satu medali emas, empat medali perak, dan satu perunggu berhasil dibawa pulang dan membuat tim Indonesia berada di posisi ke-14 dari 110 negara peserta olimpiade matematika.

Tentu saja merupakan kebanggaan saat siswa Indonesia memiliki prestasi di tingkat internasional di berbagai olimpiade, termasuk matematika. Namun, sejumlah data lain justru menunjukan betapa Indonesia saat ini tengah masuk dalam kondisi 'darurat matematika' bila enggan mengantisipasinya.

Darurat matematika

Dihimpun dari Harian Kompas, data menunjukan Indonesia perlu mengantisipasi soal kemampuan nalar matematika siswa yang perlu mendapatkan perhatian:

Baca juga: Indonesia Darurat Matematika!

1. Berdasarkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia atau Indonesian Nasional Assessment Program (AKSI / INAP) tahun 2016 dari Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendikbud, data nasional menunjukkan 77,13 persen siswa SD yang kemampuan matematikanya sangat rendah. Hanya 20,58 persen sedang, dan hanya 2,29 memiliki kemampuan tinggi.

2. Program Research on Improving System of Education (RISE) 2018 mencatat, kemampuan siswa dalam memecahkan soal matematika hanya meningkat 10,5 persen dalam 12 tahun.

3. Data hasil asesmen siswa AKSI tahun 2017 untuk siswa SMP kelas VIII di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, hasil kompetensi literasi matematika hanya 27,51 dari skala 0-100 sehingga masuk dalam kategori sangat buruk.

4. Hasil PISA tahun 2000-2015 secara konsisten menempatkan siswa Indonesia dalam peringkat bawah di negara-negara anggota OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development).

Belajar matematika berkualitas

"Nah, apakah data tersebut tidak serta merta berarti bahwa siswa-siswa kita tidak punya potensi untuk belajar matematika. Bisa jadi, siswa-siswa kita memang tidak memperoleh akses untuk mengikuti proses belajar matematika yang berkualitas," tegas Dhitta Puti Saraswati Dosen Matematika Sampoerna dan salah satu penggas Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka) kepada Kompas.com

Bagaimana pembelajaran matematika berkualitas?

Dhitta menjelaskan, "Belajar matematika yang berkualitas memungkinkan siswa belajar untuk memecahkan masalah, bernalar, mengkomunikasikan gagasan matematis, merepresentasikan masalah matematika dengan berbagai cara (gambar, model, grafik, simbol)."

Tidak hanya itu, pelajaran matematika berkualitas harus mampu membantu siswa menghubungkan gagasan-gagasan matematika dengan berbagai gagasan lainnya, baik dalam konteks matematika, bidang ilmu lain, ataupun kehidupan sehari-hari. 

Saat ini di kelas matematika, Dhitta menjelaskan siswa masih belajar menghitung saja, menghafalkan rumus, tanpa benar-benar belajar bernalar. "Kelas matematika (saat ini) hanya meminta siswa berlatih tanpa membiasakan siswa bernalar, sesungguhnya bukan kelas matematika yang sesungguhnya," tegasnya.

Dhitta mengatakan, "Di kelas matematika yang sesungguhnya, siswa harus punya kesempatan untuk menyampaikan suatu gagasan, menjelaskan kenapa mereka menganggap suatu argumen benar (maupun salah). Bukannya mengatakan 'Ini benar karena guru saya mengatakan ini benar' tetapi 'saya menganggap ini benar karena alasan-alasan berikut ini'”.

Guru pegang peranan

Taining of Trainer Gernas Tastaka (Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika) di Kabupaten Bogor bulan Agustus 2019.DOK. GERNAS TASTAKA Taining of Trainer Gernas Tastaka (Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika) di Kabupaten Bogor bulan Agustus 2019.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau