Bagus Muljadi, Titik Balik Anak Betawi IPK 2,69 jadi Ilmuwan Kelas Dunia

Kompas.com - 04/09/2019, 16:11 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Kendati demikian Bagus membulatkan tekat mengambil langkah tersebut di Institut de Mathematiques de Toulouse, Perancis hingga tahun 2014.

Bagus mengakui dalam perjalanan akademiknya, ia jarang mengambil keputusan, namun memaksimalkan kesempatan yang ada di depan mata. Dengan latar belakang yang berbeda, dirinya memberanikan diri melanjutkan post-doctoral Imperial College London.

Dari situlah awal mula perjalanan karir Bagus. Terlebih universitas ini masuk dalam salah satu kampus top di dunia.

Usai menjalani post-doctoral di Imperial College London pada tahun 2017, tidak lama dari situ Bagus kembali diterima sebagai faculty member, asisten profesor termuda di Departemen Teknik Lingkungan dan Kimia di Universitas Nottingham, Inggris.

Investasi masa depan: pengalaman interdisipliner

Usai post-doctoral di tahun 2014, karir akademik Bagus mulai naik. Di tahun sama dirinya diterima sebagai post-doctoral dengan disiplin berbeda yaitu Departemen Ilmu Bumi dan Teknik Petroleum di Imperial College London.

Latar belakang lintas disiplin yang unik justru membuat dirinya terpilih sebagai peneliti yang memiliki sudut pandang keilmuan beragam. Pihak kampus menghargai Bagus yang memiliki independensi dalam melakukan penelitian.

Memiliki gelar keilmuan beragam tidak semata-mata mudah didapatkan. Awalnya Bagus menilainya sebagai bentuk awal ‘keras’nya hidup sekaligus pembelajaran atas ketidakdewasaan dirinya saat berkuliah di S1.

Dalam perjalanan akademisnya, Bagus mengalami beragam beban; negara baru, lingkungan baru, bahasa baru, dan studi tanpa beasiswa.

Memulai track record akademik kurang memuaskan juga membentuk Bagus menjadi sosok adaptif. Ke”pasrah”annya justru membuat dirinya menekuni ragam lintas disiplin, dan menjadi berkat bagi dirinya.

Pekerjaannya saat ini sebagai anggota permanen di University of Nottingham tentu buah dari perjuangannya yang berbentuk dari portofolio riset interdisipliner.

"Pendidikan di luar negeri sangat menghargai peneliti atau ilmuwan yang memiliki pengalaman lintas keilmuan atau interdisipliner. Mereka biasanya memiliki pandangan yang lebih lengkap ketika dihadapkan dalam satu pemecahan masalah," ujar Bagus.

Perbedaan budaya akademis

Bagus menilai Iklim dan budaya akademis Indonesia perlahan namun pasti sudah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Bagus menyeritakan ketika melanjutkan studi ke Taiwan tahun 2006, tidak banyak orang mengenal dan melakukan riset maupun jurnal ilmiah. "Berbeda dengan situasi saat ini.
Ilmuwan dan akademisi tua-muda di Indonesia saat ini sudah mulai vokal dan berani kritis akan situasi di Indonesia melalui media, dan ingin menjadi agent of change," ujarnya.

Ia menambahkan pengisi kursi pemerintahan dan masyarakat yang berkontribusi dalam membuat kebijakan juga pada saat ini tidak lagi terpaku pada satu keilmuan, namun mulai melek dalam beragam perspektif sains.

Diaspora juga turut dipanggil ke Indonesia untuk kontribusi dalam memajukan pendidikan dan penemuan dalam menyelesaikan masalah dalam negeri. Padahal praktik ini sudah dilakukan China jauh berdekade sebelum Indonesia, dan sudah membuahkan hasil.

Dalam mencetak sumber daya manusia, bagi Bagus menilai SDM Indonesia tidak kalah hebat. Toh dirinya sudah membuktikan dengan mengawali sebagai mahasiswa yang berkuliah di kampus dalam negeri. Namun memang menurutnya, pola pikir akademis yang membedakan.

"Kultur akademis interdisipliner, kolaboratif, dan global untuk menyelesaikan masalah sudah terbangun. Di Indonesia masih sedikti berpaku pada jalur linearitas. Oleh karenanya, kita berharap akan lebih banyak kolaborasi dan studi banding yang dilakukan atas nama pendidikan Indonesia," tutup Bagus.

Penulis: Gabrielle Alicia Wynne Pribadi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau