Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Diaspora Indonesia: Kembali Pulang atau Mengabdi dari Dunia?

Kompas.com - 22/11/2019, 21:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tren menunjukkan investasi sains dan teknologi pada beberapa dekade terakhir telah membawa beberapa negara melesat lebih cepat dibanding negara lain. Contoh paling nyata adalah Tiongkok.

Riset-riset seperti rekayasa genetik, energi, hingga kecerdasan buatan sekarang ini bukan lagi banyak berasal dari kota-kota di negara barat melainkan seperti Shanghai, Beijing, Hefei, dan Shenzhen.

Perubahan begitu cepat terutama dalam 30 tahun terakhir ditandai dengan menjamurnya peneliti Tiongkok menjadi kontributor makalah ilmiah di jurnal-jurnal terkemuka yang diikuti dengan meningkatnya jumlah sititasi (kutipan jurnal ilmiah) mereka.

Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang memberikan budget sangat besar untuk sektor riset.

Dilansir media lokal Tiongkok, tahun 2018 lalu mereka menghabiskan 291.58 miliar dolar AS di sektor penelitian dan pengembangan. Jumlah ini meningkat 75 persen dibanding alokasi mereka pada tahun 2012.

Migrasi mahasiswa Tiongkok

Kebijakan ini didasari oleh idealisme Presiden Xi Jinping yang mengatakan Tiongkok akan terus menguatkan riset dasar dan terapan, membangun pusat riset kolaboratif, serta memprioritaskan riset-riset inovatif pada sektor teknologi yang menjadi kunci di masa mendatang.

Langkah nyata sudah dimulai dengan membangun fasilitas-fasilitas riset kelas wahid seperti Harbin Institute of Technology yang merupakan proyek ambisius bidang antariksa, Qingdao National Laboratory for Marine Science and Technology untuk sektor kelautan, University of Science and Technology of Tiongkok in Hefei yang di dalamnya terdapat pusat riset kecerdasan buatan (AI) dan komputer kuantum.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka memulai mengorganisasi untuk berinvestasi pada sains dan teknologi?

Embrionya bisa dilihat pada ke era 1978/1979, ketika terjalin hubungan diplomatik Tiongkok-US yang ditandai kunjungan Deng Xiaoping ke Presiden AS saat itu, Jimmy Carter, di mana salah satu hasilnya adalah terjalinnya kesepakatan dalam bidang sains dan teknologi.

Semenjak itu dimulailah migrasi besar-besaran mahasiswa Tiongkok menimba ilmu di AS dengan dukungan dana dari pemerintah Tiongkok

Migrasi ini salah satunya difasilitasi Dr. Tsung-Dao Lee, penerima nobel fisika dari Columbia University yang menginisiasi program the China-United States Physics Examination and Admission (CUSPEA) yang membantu 800 mahasiswa Tiongkok diterima di universitas-universitas di AS.

Hal serupa dilakukan juga oleh Dr. Ray Wu yang membidani lahirnya program China-US Biology Examination and Admission (CUSBEA) di mana lebih dari 1000 siswa Tiongkok diterima universitas US.

Pada akhirnya, dalam rentang 1985 hingga 2005 tercatat lebih dari 40.000 mahasiswa PhD datang dari Tiongkok ke universitas-universitas di AS.

Fenomena "brain drain" dan "brain gain" 

Langkah pemerintah Indonesia sudah tepat dengan mengirim mahasiswa Indonesia secara besar-besaran ke berbagai universitas dunia melalui skema dana abadi yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Belakangan mencuat kembali isu "brain drain" (orang pintar yang memilih bekerja di luar negeri) dan "brain gain" (orang pintar yang memilih kembali ke negara asal).

Halaman:


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau