Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Diaspora Indonesia: Kembali Pulang atau Mengabdi dari Dunia?

Kompas.com - 22/11/2019, 21:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Fenomena ini pada awalnya juga muncul di Tiongkok. Tidak sedikit yang memilih menetap di negara tempat mereka bersekolah. Setelah puluhan tahun berlalu, tidak sedikit dari orang-orang pintar tersebut memilih pulang dengan bekal pengalaman riset, manajemen, komersialisasi, dan pendidikan setelah sekian lama menetap di luar negeri.

Bagi pemerintah Indonesia, wajar saja muncul kekhawatiran apabila semakin marak fenomena "brain drain".

Seolah fenomena "brain drain" dan "brain gain" ini bertolak belakang padahal sejatinya tidak selalu begitu, bahkan dapat menjadi mutual gain antar 2 negara.

"Brain drain" dengan tujuan jelas akan menguntungkan negara asal. Pemerintah dapat mengizinkan pelaku "brain drain" dengan memproyeksikan mereka menduduki posisi penting di tempat mereka bekerja.

Ketika telah memiliki bargaining position, mereka ini yang nantinya menjadi jembatan seperti yang dilakukan Dr. Lee dan Dr. Ray Wu. Selain itu, pelaku "brain drain" selama kurun waktu tertentu juga akan memberikan keuntungan karena mereka telah kaya akan pengalaman, konektivitas, dan skill yang menjadi modal berharga ketika mereka kembali pulang.

Belajar dari Habibie

Selanjutnya, kita dapat belajar dari zaman Presiden BJ Habibie di mana banyak penerima beasiswa yang berniat pulang namun terkendala karena negara belum siap menampung mereka.

Hal ini harus cepat direspon dengan kebijakan yang menjadi payung bagi para pelaku. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mencanangkan prioritas. Prioritas riset ini akan menjadi poros pada kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat.

Masalahnya, ekosistem riset kita masih banyak kekurangan. Sebagian besar industri tidak membutuhkan riset. Pemerintah menjadikan hasil riset sebagai pijakan dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa.

Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Ekosistem seperti ini menjadikan pelaku "brain drain" berpikir dua kali untuk pulang, sedang perbaikan ekosistem riset butuh waktu yang tidak sebentar dan harus menyeluruh mulai dari pendanaan, fasilitas, hingga sektor kelembagaan.

Kedua, negara harus siap dengan pelayanan prima bagi "brain gain" seperti akomodasi, dispensasi (pajak, administrasi), insentif tinggi, fasilitas kendaraan, rumah, dan bahkan beasiswa bagi anak-anaknya. Pendekatan dari sisi manusiawi ini tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh sangat besar.

Ketiga, membangun pusat kolaborasi riset yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Hal ini memiliki dua keuntungan. Pertama, tentu pusat riset ini menjadi wadah bagi "brain gain" dan kedua agar tidak terjadi penumpukan di kota-kota besar.

Hal ini bukan hal mustahil karena LPDP memiliki kekuataan meminta awardee-nya pulang.

Kerjasama pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam hal ini. Pemerintah daerah dituntut lebih tanggap, mulai dari mendanai sampai memfasilitasi ruang aktualisasi.

Jika terimplementasi dengan baik strategi ini juga menjadi solusi untuk mempercepat pemerataan SDM muda berkualitas di seluruh Indonesia. Jika Tiongkok sudah berhasil menarik kembali pulang "brain drain", maka tidak ada salahnya kita meniru strategi mereka.

Sebagai catatan, meniru pun tidak sekedar meniru untuk menghindari risiko isomorphic mimicry yaitu bertingkah seakan-akan telah melakukan reformasi dengan mengubah kebijakan ataupun organisasi tanpa benar-benar melihat kondisi sebenarnya sehingga hanya menghasilkan perubahan tidak signifikan.

Perencanaan matang dengan eksekusi tepat untuk memanen investasi SDM adalah kunci agar hasil investasi sesuai dengan kebutuhan pembangunan. 

Egy AdhitamaDOK. PRIBADI Egy Adhitama
Penulis: Egy Adhitama
Master Student at the Laboratory of Energy Storage and Electrochemistry
Dept. of Material Science and Engineering
National Chiao Tung University, Taiwan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau