Refleksi Hari Guru: Pengabaian di Ruang-ruang Kelas Kita

Kompas.com - 24/11/2019, 20:00 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Tiga tahun terakhir belum pulang. Ibunya menikah lagi, disusul ayahnya. Rafi berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga berikutnya.

Sesungguhnya, ini tentang saya dan mungkin Anda. Mawar dan Rafi ‘terbunuh’ karena saya abai sebagai wali kelasnya, sebagai gurunya.

Jika saja jauh hari sebelum peristiwa itu terjadi, saya menyediakan waktu yang cukup untuk mengenal dan melakukan percakapan bermakna dengan dengan mereka, maka tersedia dua pilihan: mungkin terjadi atau mungkin juga tidak. Percayalah, pengalaman ini sungguh menyesakkan.

Bukan hanya Mawar. Masih ada Bunga, Dahlia, Amir, Azis dan sejumlah nama lain yang kadang ‘terbunuh’ atau ‘membunuh’ karena keberadaanya yang diabaikan kelompok ketiga. Memperlakukan mereka objek kelas yang hanya datang dan duduk, taat dan patuh pada aturan.

Mimpi kita memperlakukan mereka sebagai botol kosong yang terus menerus diisi pengetahuan. Belakang hari, saya paham itu adalah bagian dari pengabaian terbesar terhadap keutamaannya sebagai manusia potensi. Memaksa anak belajar dengan cara yang sama dan berulang-ulang setiap semester.

Bahaya pengabaian

Rekan guru yang baik...

Sudahkah kita membebaskan diri dari bahaya-bahaya pengabaian itu? Berapa banyak murid yang pernah kita dengarkan? Pernahkah menyediakan waktu bagi mereka untuk bercerita tentang diri atau tentang pengalaman-pengalaman mereka? Adakah waktu yang tersisa sekedar menyapa atau bertanya kabar tentang keluarga, cita-cita atau kesulitan-kesulitan yang mereka alami?

Pernahkah kita mengajak mereka ke ruangan, menyuguhkan air minum sambil bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing? Pernahkah kita bertemu, berkenalan dan bercakap dengan keluarga mereka?

Mari kita jujur. Seberapa penting materi atau tujuan pembelajaran berpihak pada kebutuhan kebutuhan anak? Apakah materi yang tuntas itu benar-benar menjawab kebutuhan mereka atau hanya untuk mewujudkan tujuan kita? Lalu apa yang kita abaikan? Percayalah.

Sesungguhnya sekolah abai bahwa tujuan belajar harusnya menjadi milik anak-anak. Murid murid kita.

Apakah benar bahwa bacaan yang bagus-bagus sudah tersedia di ruang perpustakaan sekolah? Penting mana: menyiapkan laboratorium komputer untuk ujian nasional atau menyiapkan buku dengan kualitas mahal?

Kita abai. Simulasi ujian nasional dilakukan berulang-ulang, tanpa cela, sementara pengadaan buku berkualitas tidak pernah dilakukan? Sekolah berkembang dengan bacaan-bacaan yang buruk. Buruk sekali. Percayalah, kita telah mengabaikan tumbuhnya pikiran-pikiran baik.

Saya meyakini bahwa peristiwa besar berawal dari percikan-percikan kecil yang dilakukan hari ini. Jika belum, segeralah bergegas, karena seringkali peristiwa gelap dan kasar justru lahir dari anak yang diabaikan, tidak tersentuh, dan nampak baik-baik saja.

Kawan-kawan guru. Ada tiga kelompok yang saling berinteraksi di sekitar kita. Pembunuh, korban dan penonton. Di pihak manakah Anda berada?

Sebuah pertanyaan di keramaian perbincangan tentang hari guru…

Penulis: Usman Djabbar Mappisona
Ketua Komunitas Guru Belajar Nusantara

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau