Kisah Sri dan Budi, Guru SLB Puluhan Tahun Mengajar Siswa Disabilitas

Kompas.com - 25/11/2019, 20:19 WIB
Wahyu Adityo Prodjo,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Menjadi guru untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) puluhan tahun, Sri Cahyaningsih (61) dan Ajar Agus Budianto (49) punya cerita yang tak terlupakan.

Bagi Sri, ia sempat tak membayangkan jadi guru di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sementara, Budi justru sudah memutuskan jalan hidupnya menjadi guru SLB sejak di bangku kuliah.

Sri adalah seorang guru di Sekolah Luar Biasa khusus Tuna Rungu (SLB B) Santi Rama Jakarta. Ia merupakan lulusan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) di Yogyakarta di tahun 1980.

Awalnya Sri memilih SGPLB yang setara Diploma Dua (D2) lantaran administrasinya yang murah untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta.

"Namanya orang kampung ya. Kan waktu itu kuliah agak mahal gitu. Jadi saya cari yang murah. Kuliah di pendidikan khusus itu bayarnya sejajar SMA. Jadi masuk di sana (SGPLB)," kata Sri saat ditemui Kompas.com di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Baca juga: Hari Guru Nasional, 4 Inspirasi Penguatan Literasi Dasar di Kelas

Awal kuliah Sri tak mengetahui tentang pendidikan khusus. Ia hanya tahu, SLB adalah sekolah untuk berkebutuhan khusus.

Murid dengan kebutuhan khusus seperti apa, Sri pun tak tahu. Ia lalu mencari pengalaman untuk mengetahui keadaan anak penyandang tunarungu.

"Melihat anak tunarungu itu seperti biasa padahal malah hambatannya begitu besar gak tahunya," kata perempuan kelahiran Sleman, 26 Februari 1958.

Setelah Sri terjun ke dunia tunarungu, ia lalu mendapatkan ilmu dari studi lapangannya. Akhirnya, ia mengajar anak penyandang tunarungu hingga saat ini.

"Ya sudah hampir 40 tahun mengajar. Itu ngajar dari umur 22 tahun," tambah Sri yang kini menjabat wakil koordinator guru di SLB Santi Rama.

Selama menjadi guru SLB di SLB Santi Rama, ia mengaku senang ketika melihat anak-anak didiknya bisa berbicara sesuai yang diajarkan.

Di Santi Rama, siswa-siswa penyandang tunarungu miskin secara bahasa sehingga ia memulai dari anak-anak yang belum bisa berbicara.

"Itu rasanya seneng banget, sampai orangtua juga seneng banget. Biasanya cuma a u a u lalu punya bahasa. lalu dia bisa mengembangkan bahasanya," ujarnya.

Kini, seharusnya Sri sudah pensiun dari tugasnya menjadi guru. Namun, ia diminta terus mendampingi guru-guru muda untuk menjalankan tugas.

"Sebenarnya sudah harus istriahat tapi masih ada pekerjaan," tukas Sri.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau