KOMPAS.com - Tingkat literasi Indonesia masih dipandang rendah. Survei World Culture Index tahun 2018 menunjukan tingkat literasi dan minat membaca Indonesia berada di peringkat kedua terbawah, tepatnya rangking 60 dari 61 negara.
Demikian pula skor Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2018 masih menguatkan hal itu. Kemampuan baca siswa Indonesia hanya berada di peringkat 72 dari 78 negara.
“Kalau orang bilang tingkat keliterasian kita rendah, bukan berarti kita menjadi pesimis. Tapi harus menggerak meningkatkannya. Dan mesin penggeraknya, salah satunya adalah anak muda,” ujar pegiat literasi, Maman Suherman kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Maman tidak menampik bahwa banyak gerakan literasi yang dilakukan anak muda memang masih dalam skala kecil. Namun, bukan berarti gerakan tersebut tidak berpengaruh.
“Anak muda tahu bagaimana cara membuat yang kecil menjadi besar dengan cara berkolaborasi. Kata kunci di era disrupsi ini adalah kolaborasi. Kalau mereka mampu berkomunikasi dengan baik, mampu berkolaborasi, tetap mampu berpikir kritis, gerakan ini bakal menjadi besar,” tutur Maman.
Rendahnya tingkat literasi Indonesia juga menjadi kekhawatiran Michelle Setiawan, pelajar usia 16 tahun, yang kemudian membuat gerakan literasi unik: menjadikan puskesmas sebagai wadah menyalurkan buku-buku yang hendak diberikannya kepada khalayak.
Baca juga: Kemah Literasi Kaltara 2020, Konsolidasikan Gerakan Literasi
“Saya tahu, indeks baca Indonesia itu nggak tinggi. Padaha aku pikir, orang harus banyak baca buku untuk meyelesaikan masalahnya,” cerita Michelle.
Michelle sendiri termasuk anak muda yang beruntung karena memiliki akses dalam membaca. Itu pula yang membuatnya hobi membaca sampai saat ini. Tidak tanggung-tanggung jika libur sekolah, ia bisa menghabiskan 10 buku untuk dibaca hanya dalam sebulan.
Akses terhadap bacaan itu pula diharapkan Michelle bisa dirasakan oleh orang lain. Dengan penghasilan sampingan membuat konten, ia mulai menyalurkan hasratnya untuk membuat gerakan literasi semenjak setahun lalu.
Pemilihan tempat yang cukup unik yakni puskesmas didasarkan pada pengalamannya. Ia menyadari, menunggu berobat di rumah sakit membuatnya cukup panik. Membaca buku bisa mengalihkan ketakutan tersebut.
Karena itu, ia berharap anak-anak kecil yang berobat ke puskesmas juga bisa merasakan ketenangan sebelum berobat dengan dibacakan buku oleh orangtuanya.
“Puskemas kan banyak anak-anak kecil. Ibu dan ayahnya bisa cerita ke anak-anak kecil. Itu juga bisa jadi family bonding,” ujarnya lagi.
Saat ini, sudah beberapa puskesmas di Jakarta Selatan yang mendapat sumbangan buku, diantaranya Puskesmas Pulo dan Puskesmas Kebayoran Baru. Targetnya, Michelle bisa memberi sumbangan buku ke seluruh puskesmas yang ada di Jakarta.
“Sekarang kami masih cari-cari puskesmas yang lain,” ujarnya.
Pemilihan tempat unik guna menjalankan aksi literasi juga dilakukan Mila Muzakkar. Membuat Generasi Literat, Mila menyasar peningkatan literasi untuk anak-anak yang masih mendekam di penjara.