Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurang Guru dan Buku, Ini Saran untuk Tingkatkan Pendidikan di Papua

Kompas.com - 29/01/2020, 14:11 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com - Pegiat Literasi Papua merespon lima poin rekomendasi yang diberikan Kelompok Kerja (Pokja) Literasi Kalimantan Utara (Kaltara) kepada Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.

Maiton Gurik, salah satu pegiat literasi di Papua mengatakan, lima poin rekomendasi yang dititipkan kepada Staf Khusus Presiden RI, Adamas Belva Syah Devara, adalah masalah pendidikan yang juga dihadapi para pegiat di Papua.

Presiden Jokowi diminta menindaklanjuti rekomendasi itu menjadi kebijakan konkrit.

“Hal ini dilakukan agar pemerintahan Jokowi memiliki persepsi yang sama dalam mengembangkan SDM di Indonesia, khususnya di Papua,” kata Maiton, Pegiat Literasi dari kabupaten Lanny Jaya, Papua, dalam keterangan tertulis, Senin (27/1).

Ketua Taman Baca Masyarakat (TBM) Pondok Baca Idawa, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, Maruntung Sihombing mengatakan untuk membangun SDM yang berkualitas, pemerintah harus memperbaiki keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) dari pondasi yaitu Sekolah Dasar (SD).

Baca juga: Ini Kondisi Sekolah di Papua yang Ditulis dalam Surat untuk Mendikbud Nadiem

“Kuncinya ada di SD. Jika ditingkat SD anak sudah tuntas membaca, berhitung dan menulis, maka mereka akan lebih siap belajar di level selanjutnya,” terangnya.

Ia mengatakan tantangan untuk menuntaskan keterampilan calistung di daerah seperti Papua dan Papua Barat lebih berat dan kompleks. Sudah menjadi rahasia umum banyak siswa Papua di tingkat SMP dan SMA belum mampu calistung.

Padahal keterampilan ini merupakan modal bagi anak untuk belajar di kelas selanjutnya. Pemerintah harus memastikan kompetensi dasar calistung dalam semua satuan pendidikan betul-betul tuntas di tingkat SD, SMP, maupun SMA/SMK.

“Pemerintah pusat, provinsi, daerah dan komunitas literasi harus berkolaborasi mencari jalan keluar menghadapi tantangan ini. Dibutuhkan cara-cara yang lebih efektif dan efesien, agar anak benar-benar siap belajar,” tegas mantan guru program SM3T ini (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal).

 

Ketersediaan buku

Selanjutnya Maruntung mengatakan, ketersediaan buku bisa menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan keterampilan calistung. Masalahnya buku yang tersedia di Papua, sering tidak sesuai kebutuhan anak dan daerah.

Jikapun ada, buku-buku itu lebih banyak buku teks pelajaran yang tidak ampuh memicu kesenangan anak membaca.

“Selama ini hampir sebagian besar sekolah di Papua, terutama sekolah yang ada di Pegunungan Tengah Papua, tidak memiliki ketersediaan buku yang mumpuni,” terang Maruntung.

Guru di SMA Negeri 1 Makki ini, menambahkan, buku yang paling dibutuhkan di provinsi ujung Indonesia itu adalah buku berkontekstual Papua. Isi buku-buku ini mengambil kegiatan hidup sehari-hari orang Papua, sehingga anak lebih mudah memahami makna buku itu.

Baca juga: Pemerataan SDM Unggul, Pemerintah Diminta Lanjutkan Beasiswa Bidikmisi di Papua

Selain itu isi buku kontekstual Papua menggunakan kalimat yang sederhana dengan gambar yang lebih menarik.

”Dengan desain buku seperti ini, buku kontekstual Papua menjadi jembatan penghubung yang efektif antara anak dan ilmu pengetahuan,” terang guru yang sudah 6 tahun mengajar di Papua ini.

Merujuk rekomendasi dari Sun Shine Coast University, Australia, Maruntung mengatakan ada 10 poin usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Papua, salah satunya adalah dengan melakukan pembelajaran berkonteksual Papua (Papua contextual teaching and learning).

Karena itu kemampuan mengajar (pedagogik) guru, menjadi salah satu faktor penting, dalam meningkatkan mutu pendidikan. Guru-guru perlu mendapatkan pelatihan secara periodik, termasuk pelatihan mengajarkan literasi dan numerasi.

Guru harus mampu mendesain materi dan metode mengajar yang sesuai kondisi geografi dan budaya setempat.

“Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah dan guru daerah untuk mendesain materi dan pembelajaran yang berkontekstual Papua sehingga siswa-siswi di Papua lebih gampang dalam menerima pelajaran,” tambahnya.

 

Butuh guru

Maruntung mengatakan, ketersediaan guru menjadi masalah serius lain di Papua. Banyak sekolah-sekolah di pedalaman Papua yang masih terisolasi, tidak mempunya cukup guru untuk mengajar.

“Kalau guru tidak ada, bagaimana anak bisa belajar? Jadi perlu juga memastikan ketersediaan guru yang cukup di Papua,” tambahnya.

Praktisi pendidikan dari Sentani, Kabupaten Jayapura, Abraham Fainsemen, mengatakan tidak hanya guru yang perlu dilatih. Para pegiat dan relawan literasi juga harus dilatih agar memiliki keterampilan teknis tentang literasi.

Dengan memiliki keterampilan teknis, komunitas dan relawan literasi bisa berkolaborasi dengan sekolah. Sebaik apapun program di sekolah, jika tidak terjadi kolabarasi yang baik antara sekolah, orang tua dan masyarakat (tokoh adat, tokoh agama) maka akan sia-sia.

Maka penting melibatkan orang tua, tokoh adat, tokoh agama, bahkan tokoh pemuda dalam setiap program di sekolah agar pembelajaran bisa berjalan dengan baik.

Hasil penelitian Sun Shine Coast University tahun 2017 di Papua menyatakan bahwa dengan melibatkan orang tua, tokoh adat dan tokoh agama dalam program di sekolah, maka terjadi peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut.

Kampanye literasi yang lebih massif juga diperlukan untuk membangun kesadaran pentingnya memuntaskan keterampilan calistung di SD. Tidak boleh anak ditamatkan begitu saja dari SD, namun tidak terampil membaca.

Membaca adalah alat untuk belajar. Jika anak tidak terampil membaca, maka anak tersebut tidak akan maksimal belajar.

 

Sekolah berasrama

Pegiat literasi juga mengusulkan satu point baru khusus Papua, yaitu tersedianya sekolah berbasis sistem asrama. Mengingat daerah Papua yang masih didominasi pegunungan dan kebanyakan terisolasi dari akses, maka pemerintah juga mestinya menyediakan sekolah dengan pola berasrama.

Kabupaten Lanny Jaya, salah satu kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sudah sukses dan berhasil dalam menerapkan Sekolah Pola Berasrama untuk tingkat SD khusus juga kelas empat, lima dan enam dan SMP kelas tujuh, delapan dan sembilan. Hasilnya sangat jauh berbeda dengan sekolah yang menerapkan pola biasa dan reguler.

Pegiat literasi Papua merespon rekomendasi yang diberikan Pokja Literasi Kaltara kepada Presiden Joko Widodo.

Rekomendasi ini diberikan kepada Staf Khusus Presiden, Adamas Belva Syah Devara pada Sabtu (19/1) dalam acara Kemah Literasi Kaltara (KLK) 2020 di Tarakan, Kaltara. KLK 2020 diorganisir oleh Forum Guru Tapal Batas (FGTB) untuk mengkosolidasikan gerakan literasi di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com