Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Tantangan Jokowi dan Ironi Riset RI

Kompas.com - 10/02/2020, 20:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Rendahnya proporsi anggaran penelitian dari PDB Indonesia menunjukkan bahwa penelitian masih marginal dalam kebijakan nasional.

Saat negara-negara maju dalam dua dekade terakhir mendorong belanja penelitiannya menjadi di atas kisaran 2 persen hingga 4,5 persen--negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, bahkan sudah beberapa tahun terakhir menganggarkan belanja penelitiannya di atas kisaran 1 persen--belanja litbang Indonesia sejak lebih dari 20 tahun terakhir berkisar antara 0,1-0,2 persen dari PDB.

Dalam studi mengenai penyelenggaraan pendanaan penelitian di Indonesia (2019), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia menemukan, ada enam akar permasalahan dalam pendanaan penelitian di Indonesia.

Pertama, terjadi kekacauan data penghitungan belanja litbang nasional. Dari Rp 24,92 triliun dana riset dari pemerintah pusat tahun 2016 hanya 43,74 persen yang digunakan sebagai dana untuk penelitian.

Selebihnya untuk operasional, jasa iptek, belanja modal, dan pendidikan pelatihan (diklat). Artinya, sesungguhnya dana litbang jauh lebih kecil dari 0,2 persen.

Kedua, tidak adanya mekanisme yang jelas untuk pengukuran kinerja lembaga penelitian. Dana pemerintah pusat sebesar Rp 24,92 triliun untuk riset yang tersebar di 81 kementerian/lembaga (KL), sementara hanya 13 KL yang melakukan kegiatan litbang penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.

Ketiga, mekanisme pendanaan penelitian menggunakan sistem pengadaan barang dan jasa, sehingga tidak dapat mengakomodasi penelitian tahun jamak.

Keempat, tidak ada lembaga independen yang hanya fokus mengelola pendanaan penelitian. Kelima, masih rendahnya kemampuan fiskal negara dalam mengalokasikan dana untuk membiayai kegiatan penelitian dan pengembangan.

Keenam, kontribusi industri atau swasta dalam pendanaan riset masih rendah. Lemahnya kondisi keuangan industri domestik dan relatif rendahnya minat mereka mendanai kegiatan riset masih menjadi kendala.

Kontribusi swasta dalam pendanaan riset maish kurang dari 20 persen. Sebagian besar dana riset bersumber dana belanja pemerintah. Adapun industri multinasional melakukan riset dan pengembangan di pusat industri negara-negara maju.

Pendanaan kecil berpengaruh secara langsung terhadap kualitas dan produktivitas penelitian. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa meski 92 persen pengambil kebijakan di Indonesia menggunakan hasil penelitian dalam pengambilan kebijakan, namun riset yang mereka jadikan acuan umumnya berkualitas rendah dan kurang teruji secara akademik.

Buruknya kualitas riset yang digunakan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia selain terkait dengan rendahnya anggaran penelitian, juga terkait dengan sumber pendanaan yang tersedia.

Sebanyak 66 persen penelitian yang dilakukan berupa penelitian penugasan atau pesanan dari birokrasi, lembaga politik, dan pengambil kebijakan lainnya.

Sebagai konsekuensi, riset tidak berjalan independen, sementara analisis yang dihasilkan disesuaikan dengan kebutuhan pemberi dana (Rakhmani; Sakhiyya; Agahari; dan Ramadhan, 2019).

Kondisi tersebut diperburuk dengan pendampingan riset yang masih sangat kurang dan minimnya akses penilaian sejawat (peer review), yang berarti standar kualitas penelitian kurang teruji.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau