HAMPIR satu purnama sudah, dunia kiwari kita diwarnai haru-biru kisah para korban pandemi virus corona baru atau Covid-19, terutama yang sedang mewabah di Negeri Tirai Bambu sana.
Sampai tulisan ini saya susun, setidaknya ada 40an negara yang telah dijangkiti virus mematikan itu.
Indonesia, kendati dilintasi angin selatan yang berembus melewati China daratan, ternyata tak tersentuh sama sekali oleh wabah sejenis.
Padahal Singapura, Malaysia, dan Australia, telah lebih dulu merasakan dampak psikologisnya. Lebih ajaib lagi, 200an WNI yang dijemput pulang dari Wuhan dan dikarantina di Natuna, malah tak terpapar.
Baca juga: Kisah Korban Selamat Virus Corona (2): Ingin Berterima Kasih Dapat Hidup Kedua
Kisah itu mungkin bisa jadi pelipur lara bangsa kita—yang konon katanya keramat. Namun sejatinya, ada virus lain yang lebih berbahaya dan itu seolah abai dari amatan kita.
Tengoklah sebentar jejaring media sosial. Di sana masih teramat banyak orang Indonesia yang dengan sangat gegabah mengaitkan kehadiran virus corona dengan azab Tuhan—berikut segala utak-atik gatuknya.
Pertanyaanya, apakah mereka diberitahu langsung oleh Tuhan terkait hal itu? Saya yakin pasti tidak. Paling banter, lagi-lagi Kitab Suci yang dijadikan sumber perisakan. Naudzubillahi min dzalik…
Kecenderungan orang beragama hari ini memang semakin membingungkan. Gemar hujat menghujat, ancam mengancam.
Senang menakut-nakuti dengan dosa dan neraka. Mudah dihibur pahala-surga. Anda yang mungkin masih belum bisa terbebas dari belenggu macam itu.
Cobalah tanya pada mereka yang tak kapok menyeret neraka dalam ceramah berkelas kapiran begitu.
“Apakah tuan sudah pernah lihat dan masuk ke dalamnya?” Bisa kami pastikan, ia segera bungkam.
Kita bukan sedang ingin menggugat dogma-doktrin agama. Sama sekali tidak.
Tapi marilah kita sedikit belajar dari Ki Ageng Suryomentaram. Salah seorang sufi besar Tanah Jawi ini pernah dengan sengaja menceburkan diri dalam sungai berarus jeram.
Alhasil ia terseret dan terombang-ambing di antara dua kenyataan: hidup atau mati. Ketika Ki Ageng akhirnya selamat, ia baru berani bertutur tentang pengalaman menghadapi kematian.
Itulah kawruh begja. Ilmu tentang apa yang sudah kita rasa dan ketahui. Bukan syak wasangka apalagi sekadar kutap-kutip ayat atau dalil.