Begitulah pula inti dari ide tentang nilai tukar, misal. Pemerintah mencetak selembar kertas tanpa nilai, lalu mendeklarasikannya bernilai, dan menggunakannya untuk menghitung nilai segala sesuatu.
Pemerintah yang berkuasa, memaksa warganya membayar pajak dengan menggunakan lembaran kertas ini, sehingga warga negara tak punya pilihan selain mengikutinya—paling tidak sebagian dari mereka.
Syahdan. Uang kertas itu pun kemudian menjadi bernilai. Karena pemerintah mengendalikan penerbitan uang kertas itu, kekuasaannya pun bertumbuh.
Jika Anda memprotes bahwa, “Ini hanya lembar-lembar kertas tak bernilai,” dan berperilaku seakan-akan uang itu memang hanya lembaran kertas, Anda takkan mendapat apa-apa dalam dunia modern.
Hal yang sama terjadi ketika sistem pendidikan mendeklarasikan bahwa ujian matrikulasi adalah metode terbaik mengevaluasi mahasiswa. Sistem itu memiliki otoritas memadai untuk memengaruhi standar bagi perguruan tinggi dan penerimaan pegawai di kantor pemerintahan dan sektor swasta.
Tertipu perkara ini, para mahasiswa pun mencurahkan segenap upayanya demi mendapatkan nilai terbaik. Posisi-posisi “dambaan,” diduduki oleh orang yang mendapat nilai tinggi, yang secara alamiah mendukung sistem itu membawa mereka ke sana.
Fiksi bahwa sistem pendidikan mengendalikan ujian-ujian penting memberinya kekuasaan lebih dan peningkatan pengaruh atas perguruan tinggi, kantor pemerintah dan pasar kerja—sudah cukup terang.
Jika Anda protes bahwa, “Sertifikat gelar itu hanya selembar kertas sahaja”, dan berperilaku menurut anggapan itu, Anda takkan mendapat bagian apa pun dalam dunia modern.
Media sosial, juga sekelumit contoh lain dari cara penggerak Revolusi Teknologi 4.0 tuk mengendalikan manusia—melampaui batas negara, agama, bahkan ruang pribadi. Hingga akhirnya makna hidup manusia tergadai pada kekuasaan yang tak bisa dimafhumi.
Inilah era ketika manusia mengurung diri dalam teknologi komunikasi-informasi dan kehilangan kesadaran kemanusiaannya. Segala hal remeh-temeh mengalahkan keluhuran akal sehat.
Sebuah bencana kemanusiaan bisa secepat mungkin direkam dan terunggah, tapi si pengunggah hanya sibuk berswafoto dan lupa cara berempati. Panggung kehidupan manusia sungguh benar telah menjadi deretan matriks dan piksel belaka. Tak lebih.
Jika Anda berusaha mencari sesuatu yang jauh lebih dalam dari kenyataan, kemungkinan hanya kebanalan teks saja yang bisa ditemukan dari mesin pencari yang katanya canggih itu.
Kini, anak-anak manusia dari semua budaya-agama, berpikir, bahwa mereka lah pusat dunia, hingga tak punya perhatian pada kondisi-perasaan orang lain. Sebagian besar orang tumbuh dalam delusi kekanak-kanakan semacam ini, dan alhasil gagal menjadi manusia.
Ketahuilah, hidup ini disusun Tuhan melalui rangkaian makna, yang mengendap dalam tabularasa. Hidup juga bukan berisi sekumpulan masalah.
Dia Hyang Maha Pemurah, musykil menguji hamba-Nya dengan cobaan. Sebab secara kodrat kita sudah lemah, mudah lupa, dan tak jera berbuat salah.
Dia bercengkerama dengan kita dengan perantaraan keheningan. Sebuah kondisi yang hari ini sudah teramat sulit kita temukan di tengah hiruk-pikuk dunia mayapada.
Padahal, segala pertanyaan yang membingungkan akal, bisa terjawab oleh ketajaman rasa. Dia mengejawantah dalam hidup kita bersama tabula rasa. Dia menciptakan misteri rasa-rasa agar kerahasiaan-Nya tetap Abadi.
Anda yang fokus perhatiannya hanya tertuju pada jumlah pelanggan, penyuka, dan komentar di kanal Youtube, atau unggahan viral di TikTok, Instagram, Twitter, dan Facebook, takkan pernah bisa menyelami risalah di bagian awal paragraf ini.
Baca Bagian II Menjadi Manusia Waskita: Mari Kita Bicara Tentang Kehilangan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.