Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menjadi Manusia Waskita (Bagian I)

Kompas.com - 22/02/2020, 15:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Persis belaka dengan apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ketika baru saja kembali dari Isra’ Mi’raj.

Masih begitu banyak virus lain dalam diri kita yang bisa dikupas satu persatu. Silakan Anda mulai melacaknya sendiri.

Pustaka Wedha Sasangka menerangkan tiga tingkatan jagat. Kesatu, jagat katon jati (dunia yang bisa dicandra) atau jagat sakala. Kedua, jagat salwa budhi atau niskala (gaib). Ketiga, jagat ka-Hyang-an atau jagat luhur.

Sekarang kita sedang berada di jagat sakala. Alam lahir. Makhluk hidup di jagat ini dipengaruhi empat bawana: bumi, matahari, rembulan, dan kartika (bintang).

Bumi sebagai sarana kita tumbuh; cahaya matahari sebagai sarana perwujudan kehadiran diri kita hingga menjadi jelas di bumi; cahaya rembulan mengisi relung hati sehingga kita memiliki daya rasa (rahsa, sense bukan taste); cahaya kartika mengisi daya hidup yang menjadi petunjuk bagi diri kita.

Alam raya ini disusun dengan lambaran makna. Satu tersingkap, muncul makna lain. Seperti cinta yang tiada habis didedah kandungannya.

Sesiapa berhasil menyelam di kedalamannya, niscaya menemukan kehidupan yang disembunyikan Tuhan bersama aliran nafas.

Sayangnya, helaian makna itu kian sulit dijamah oleh manusia modern. Mari kita lacak sumber petakanya.

Organisasi manusia yang benar-benar kuat—seperti Mesir era Fir’aun, imperium-imperium Eropa dan sistem sekolah modern-tidak dengan sendirinya berpandangan jernih.

Banyak dari kekuatan mereka bergantung pada kemampuan memaksakan keyakinan-keyakinan fiksional mereka pada realitas yang pasrah.

Berperang sampai mati demi membela kekonyolan dalam beragama, itu fiksi. Namun derita yang lantas dihasilkannya, adalah kenyataan.

Berbalahan demi membela keyakinan dan putus persaudaraan, itu fiksi. Tapi duka lara yang ditimbulkannya kemudian, disebut kenyataan.

Amarah meledak lantaran agamamu dirisak, itulah fiksi. Sementara nafasmu yang sesak karenanya, demikianlah kenyataan.

Bertikai pangkai ikhwal perbedaan mazhab, demikianlah fiksi. Lalu kau kehilangan hangat persaudaraan setelahnya, itu kenyataan.

Camkan, Pahami, Sadari, dan Renungkanlah

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau