KOMPAS.com - Apakah lawan dari kebahagiaan? Lawan kebahagiaan bukanlah kesedihan atau amarah. Lawan dari kebahagiaan adalah tiadanya harapan...
Kalau Anda masih bisa sedih atau marah, itu berarti Anda masih menyimpan setitik harapan. Sementara, ketika harapan sudah hilang, manusia akan merasa dirinya kosong, sebab dunia dan seisinya tidak lagi menarik.
Barang-barang, uang, prestasi, keluarga, bahkan cita-cita Anda menjadi tidak bernilai. Itulah saat segala-galanya menjadi ambyar.
Mark Manson, penulis yang buku pertamanya, "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat", sangat digemari baik di Indonesia maupun di luar negeri, kini kembali, namun dengan materi yang mungkin membuat dahi Anda sedikit mengernyit.
Masih dengan gaya khasnya yang ringan dan humoris, buku terbarunya, "Segala-galanya Ambyar", berbicara tentang sisi lain kehidupan, yaitu kekalutan dan ketiadaan harapan.
Baca juga: Science Underground: Waspada Jebakan Berpikir di Tengah Wabah Korona
Meski sekilas bukanlah tema yang enak untuk didengarkan, gagasan-gagasan Manson di buku ini mampu menerangi peristiwa-peristiwa yang sedang melanda saat ini. Tulisannya patut dibaca untuk menemani kita di masa-masa ini.
Saat ini, semakin sering kita mendapati berita-berita kriminal, penembakan sekolah, teror, maupun bunuh diri, yang ternyata didorong stres, depresi, atau motif-motif yang terlalu sederhana, gara-gara diputus pacar, diejek, atau dihukum.
Orang-orang mudah depresi, dan nekat melakukan hal yang fatal, seolah tidak ada pilihan lain.
Mark Manson bahkan memuat statistik di AS, yang menyebutkan bahwa terjadi lonjakan kasus depresi dan kecemasan di kalangan anak-anak muda dan remaja, bahkan stres kini melanda di usia yang lebih awal. Hampir separuh populasi AS mengaku mengalami keterasingan sosial dan kesepian.
Secara global, orang-orang saat ini mengalami krisis kepercayaan sosial, bahkan semakin tidak percaya pada pemerintah, media, maupun sesamanya.
Fakta tersebut merupakan sebuah paradoks. Pasalnya, sekarang ini adalah periode yang paling maju dan paling makmur, dengan harapan hidup yang paling tinggi di sepanjang sejarah manusia.
Jika menengok ke belakang, 50 tahun yang lalu saja, sangat mustahil orang dapat mengakses fasilitas kesehatan, padahal banyak penyakit mengintai, dan sewaktu-waktu, mereka berisiko terjangkit.
Lebih ke belakang lagi, 100, 200, atau bahkan 500 tahun yang lalu, tidak ada kesetaraan hak, terjadi rasisme, wabah setiap saat mengintai, pemimpin politik berlaku lalim, dan perang serta pembantaian bisa terjadi setidaknya setahun sekali.
Dunia yang kita tinggali saat ini adalah apa yang dicita-citakan dan diharapkan oleh mereka di zaman dahulu.
Inilah paradoks kemajuan.