Fakta tersebut merupakan sebuah paradoks. Pasalnya, sekarang ini adalah periode yang paling maju dan paling makmur, dengan harapan hidup yang paling tinggi di sepanjang sejarah manusia.
Jika menengok ke belakang, 50 tahun yang lalu saja, sangat mustahil orang dapat mengakses fasilitas kesehatan, padahal banyak penyakit mengintai, dan sewaktu-waktu, mereka berisiko terjangkit.
Lebih ke belakang lagi, 100, 200, atau bahkan 500 tahun yang lalu, tidak ada kesetaraan hak, terjadi rasisme, wabah setiap saat mengintai, pemimpin politik berlaku lalim, dan perang serta pembantaian bisa terjadi setidaknya setahun sekali.
Dunia yang kita tinggali saat ini adalah apa yang dicita-citakan dan diharapkan oleh mereka di zaman dahulu.
Inilah paradoks kemajuan.
Semakin baik keadaan yang kita dapat, semakin parah pula keputusasaan yang menerpa dunia ini. Baru diputus oleh pacar, langsung berpikir untuk bunuh diri. Ditegur oleh atasan, langsung menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Berawal dari saling ejek, seorang anak SMP nekat melakukan penembakan seisi sekolah.
Apa yang terjadi pada diri kita saat ini? Apa yang menyebabkan kita mudah merana dan ambyar, padahal segalanya terus menerus mengarah pada kemajuan yang semakin baik?
Baca juga: Buku yang Dapat Mengurai Sistem Berpikir Kita
Dalam "Segala-galanya Ambyar", Manson menandaskan: Kematangan budaya kita telah merosot. Baik dalam dunia yang masih berkembang maupun yang sudah kaya, kita tidak hidup dalam sebuah krisis kesejahteraan atau material, tapi sebuah krisis karakter.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Dunia memang semakin makmur dan sejahtera, namun rupanya tujuan kemajuan ini semakin lama melenceng, yaitu hanya untuk memanjakan manusia.
Awalnya, kita berinovasi untuk menemukan vaksin yang bisa membasmi penyakit-penyakit mengerikan, seperti polio atau campak.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.