KOMPAS.com - Inilah hasil pertemuan CNBC Global CFO Council, Desember 2019: Sekitar 60 persen perusahaan-perusahaan raksasa Amerika akan memangkas jumlah karyawannya di tahun 2020.
Salah satu alasannya? Resesi akibat perang dagang Amerika Serikat dan China.
Bulan itu heboh wabah Covid-19 belum meledak. Hasil pertemuan CNBC Global CFO itu menjadi salah satu alasan mengapa saya menulis mengenai WABYOD ini.
Tulisan saya terdahulu dalam seri Futurismo di media ini sudah pernah mengangkat tema ini dengan judul “The Magnificent Seven dan Hadirnya Era Freelancer” (Kompas.com tanggal 28 Desember 2018).
Beberapa sejawat sependapat dengan saya, bahwa suatu saat di masa depan, sebagian besar pekerja professional adalah free-lancer, yang memiliki kompetensi sangat spesifik dan baik, dan tak terikat jadwal maupun ruang kerja di kantor.
Saya hanya tak menyangka ‘suatu saat di masa depan’ itu hadir lebih cepat di hari ini secara masif, tak hanya di Jakarta, atau di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.
Biang keroknya adalah virus Corona atau Covid-19.
Lebih dari satu dekade lalu istilah BYOD, Bring Your Own Device, mulai populer di Jakarta yang barangkali merepresentasikan Indonesia yang moderen.
BYOD banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan yang merekrut para spesialis tingkat tinggi dengan banderol aduhai karena termasuk didalamnya harga sewa ‘peralatan-peralatan kerja’ yang sehari-hari mereka pakai.
Untuk visualisasi sederhananya mungkin kita bisa lihat tukang servis AC yang berboncengan naik sepeda motor dengan membawa tangga lipat, mesin kompresor portable, dan tabung pengisi freon. Kita membayar jasa servis, sekaligus sewa peralatannya.
Seperti itulah spesialis yang saya maksud, hanya arenanya lebih besar dan kompleks, yakni corporate, kantoran. Lalu bagaimana dengan WABYOD?
WABYOD, atau Work Anywhere and Bring Your Own Device, sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh profesi-profesi tertentu seperti konsultan hukum dan manajemen, programmer, arsitek dan tentu saja designer.
Silicon Valley bahkan sudah lama menjalankan kebiasaan ini, mengingat puncak kreatifitas karyawan di perusahaan-perusahaan teknologi, tertutama yang berbasis digital, tidak selalu terjadi di jam kantor seperti lazimnya.
Pertimbangan kreatifitas serta fokus berkonsentrasi memberikan ruang fleksibilitas melalui ‘WABYOD’ pada profesi-profesi yang saya sebutkan tadi.
Dari tahun 1996 saat saya tiba di Singapura dan menetap hingga tujuh tahun berikutnya, saya mendapati banyak eksekutif lebih memilih bekerja di coffee shops atau food court di jam-jam sepi.