Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pangan Lokal, Jalan Keluar dari Jebakan Krisis Pangan

Kompas.com - 14/06/2020, 15:16 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Candra Gautama | Penerbit KPG

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 telah membawa ekor masalah ketahanan pangan di seluruh negeri. Tak terkecuali Indonesia. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk menanganinya.

Laporan media massa, negara eksportir beras seperti Vietnam, Thailand, dan India mulai membatasi pengiriman ke Indonesia. Sementara, produksi beras pada April-Juni 2020 mencapai 11 juta ton.

Stok beras diperkirakan hanya aman sampai Juli 2020.

Ironisnya, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia melonjak dari 21 persen pada 2015 menjadi 25,4 persen pada 2017. Total impor gandum Indonesia pada 2017 mencapai 11,6 juta ton.

Mau tidak mau, pemerintah dituntut untuk membuat strategi jitu guna memenuhi kebutuhan pangan 267 juta penduduk Indonesia.

Penyeragaman pangan

Urusan pangan sangat penting, karena ia merupakan kebutuhan paling asasi yang menentukan kelangsungan hidup dan kesehatan manusia. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan nutrisi akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif.

Baca juga: Gen: Memanfaatkan Pengetahuan, Menyelamatkan Nyawa

Kasus gizi buruk di Asmat, Papua, yang menewaskan 71 anak pada awal 2018 harus diwaspadai sebagai alarm adanya masalah pangan di Indonesia.

Apalagi, penyediaan pangan ke depan, terutama beras, senantiasa menghadapi tantangan perubahan iklim yang dampaknya makin dirasakan petani.

Penyeragaman pangan juga memicu kerentanan pangan, merusak kedaulatan tubuh, menghancurkan daya hidup dan budaya lokal, serta merusak ekologi Indonesia sendiri.

Demikian sejumlah kesimpulan penting dalam webinar yang membahas buku Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan, yang diterbitkan oleh KPG dan Yayasan Kehati (22/5/2020).
Indonesia sendiri memiliki potensi 5.529 jenis tanaman pangan.

Namun, hanya 100 sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 sayuran, dan 400 buah-buahan yang dimanfaatkan. Salah satunya sorgum, sumber karbohidrat yang kaya gizi, yang memiliki jejak kultural dan sejarah panjang di Nusantara.

Muasal beras jadi primadona

Emil Salim, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983-1993, yang bertidak sebagai keynote speaker, menceritakan, beras menjadi primadona pangan pokok orang Indonesia bermula dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada paruh terakhir 1960-an.

Selain uang, pegawai negeri digaji dengan beras.

Hingga sekarang beras tetap menjadi primadona. Pada masa jayanya, 1960-1980-an, didukung Revolusi Hijau, yakni pemakaian teknologi budidaya pertanian. Perubahan fundamental ini telah menjadikan Indonesia berswasembada pangan tahun 1984.

Apa yang terjadi dengan Indonesia sejak 1960-an itu berbeda dengan sebelumnya. Catatan Ahmad Arif, penulis buku, pemenuhan pangan pokok beras pada 1954 baru mencapai 53,5 persen.

Sisanya dipenuhi dengan ubi kayu (22,26 persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen).

Baca juga: Hardiknas, Pandemi Corona, dan Belajar dari Pendidikan Finlandia

Setelah 33 tahun, 1987, pola konsumsi pangan pokok bergeser luar biasa. Beras mencapai 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen. Tahun 2010, beras sebagai pangan pokok mulai ditinggalkan dan beralih ke gandum.

Jalan keluar

Strategi pemenuhan pangan sudah saatnya kembali berbasis pada keberagaman ekologi dan budaya Nusantara.

”Sorgum bisa membantu menjawab kebutuhan pangan masa depan. Ini tidak berarti seluruh orang Indonesia mesti makan sorgum. Silakan tiap daerah menggerakan sendiri postensi pangan lokalnya,” ujar Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan Kehati, sebagai pembahas.

Pentingnya keberagaman pangan sebenarnya telah disadari Presiden Sukarno. Saat berpidato dalam Perayaan Hari Tani pada September 1965, Sukarno menekankan pentingnya mengubah menu makan agar tidak melulu beras.

Menurut Sukarno, upaya untuk meningkatkan produksi saja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Pemikiran Sukarno ini seperti menekankan isi pidatonya saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor, 27 April 1952.

Saat itu, dia sudah menyadari sulitnya memenuhi perut penduduk negeri ini yang jumlahnya terus berlipat, sementara produksi pangan cenderung ajek, bahkan berkurang.

Karena itu, menurut Bung Karno, “Persediaan bahan makanan itu harus ditambah.” Penambahan sawah bukanlah jalan keluar, mengingat luas lahan yang cocok untuk budidaya padi sawah sangat terbatas.

Sukarno mengajak menanami lahan kering dengan aneka tanaman yang “nilai khasiatnya harus dibuat sederajat dengan nilai khasiat padi, misalnya jagung, jewawut, kedelai, kacang tanah.

Penggiatan seleksi bagi tanam-­tanaman tanah kering ini teranglah satu keharusan yang lekas harus kita penuhi”.

Jejak sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor) berasal dari kawasan subtropis di Afrika. Domestikasi awal dilakukan di perbatasan Mesir Sudan sekitar 5.000–8.000 tahun yang lalu.

Baca juga: Hari Buku: Menolak Tamat Ketika Roda Penerbitan Terhalang Covid-19

 

Jejaknya di Nusantara bisa ditemukan dari sebaran bahasa lokal sorgum di sekitar Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, hingga kepulauan Maluku.

Di Jawa bisa dilacak dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Tanaman ini digambarkan tinggi, nyaris setinggi tanaman pisang, sebagaimana dengan malai menjuntai ke bawah. Orang Jawa menamakan sorgum dengan nama cantel, jagung pari, dan jagomutri.

Tertera dalam Serat Centhini (1742), “….Berbagai bahan makanan itu antara lain semangka, kerai, timun, kacang, kara, kecipir, lombok, terung, jewawut, jagung ontong, dan cantel.”

Sementara di Jawa Barat dikenal sebagai gandrung; dan di kalangan Melayu, termasuk Bugis di Sulawesi dan Maluku, dikenal sebagai batar atau battari.

Tanaman sorgum saat ini mulai kembali bersemi di Pulau Flores dan pulau­pulau sekitarnya, seperti Adonara, Solor, hingga Lembata.

Kembali ke sorgum

 

Gerakan kembali ke sorgum di Pulau Flores dan sekitarnya dirintis oleh Maria Loretha dan suaminya, Jeremias D. Letor, dengan dukungan Yayasan Kehati dan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka Keuskupan Larantuka.

Baca juga: Re;nkarnasi Karya Terbaru Maman Suherman: Lebih Fiksi dari Fiksi

“Pemerintah harus mulai mengubah visi pangannya. Jangan lagi terobsesi pada beras dan beras, apalagi memaksa mencetak sawah baru dengan menggusur lahan tanaman pangan lain seperti sorgum,” kata Maria Loretha yang ikut menjadi pembahas.

Sorgum merupakan tanaman serbaguna. Selain menghasilkan biji­bijian yang kaya karbohidrat dan aneka nutrisi baik, batangnya yang kaya gula baik untuk pakan hewan.

Belakangan, beberapa jenis sorgum sengaja ditanam untuk diambil batangnya serta dimanfaatkan untuk industri gula dan bahan bakar etanol.

Sudah saatnya ingatan kita akan tahun 2020 bukan saja merujuk pada kengerian pandemi Covid-19, melainkan juga pada kengerian krisis pangan. Inilah momen untuk membangkitkan pangan lokal sebagi benteng pertahanan pangan kita.

Spesial HUT ke-24, dapatkan KPG Diskon 24 persen sampai 20 Juni 2020, pemesanan di: https://www.gramedia.com/products/sorgum

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau