KOMPAS.com - Pekerja Rumah Tangga masih didominasi oleh perempuan dengan usia dan latar belakang pendidikan yang masih rendah.
"Berdasarkan data survei ILO terbaru dari 5 juta jumlah pekerja rumah tangga sebanyak 84 persen pekerja rumah tangga merupakan perempuan dan hanya 14 persen dari jumlah tersebut merupakan anak usai 18 tahun atau usia sekolah," papar Giwo Rubianto, Ketua Umum Kowani.
Data ini dipaparkan dalam webinar "Pentingnya UU Perlindungan PRT untuk Perempuan Indonesia" di Jakarta, Senin ( 13/7/2020) yang digelar Kongres Perempuan Indonesia (Kowani), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Kondisi perempuan, pendidikan rendah dan ruang kerja domestik membuat PRT rentan diskriminasi, pelecehan, perendahan martabat dan eksploitasi dan juga kekerasan fisik maupun psikis.
Giwo juga memandang PRT dipandang belum ada perlindungan hukum sehingga tidak ada kontrol dan pengawasan dari Pemerintah.
"Tambahan lagi masih ada stigma dari masyarakat yang melihat PRT sebagai pengangguran, bukan pekerja, sehingga mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Untuk itu, UU-PRT mendesak untuk segera disahkan," ujar Giwo.
Baca juga: Wapres Maruf: Pendidikan adalah Kunci untuk Memastikan Masa Depan Bangsa
Kekhawatiran pengesahan RUU PPRT (Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) terkait jenjang pendidikan minimal SMA yang dianggap membatasi PRT nantinya, sebenarnya justru menjadi pintu masuk untuk peningkatan kesejahteraan PRT yang didominasi perempuan.
"Dengan meningkatnya standar jenjang pendidikan, hal ini sebenarnya justru akan mendorong meningkatnya kesejahteraan dan juga skill dari pada PRT ini," jelas Giwo Rubianto Wiyogo, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menjadi salah satu narasumber.
Penguatan pendidikan untuk kesejahteraan Lebih jauh Giwo menyampaikan, rendahnya pendidikan PRT akan membuat posisi PRT menjadi rentan terhadap berbagai tindak eksploitasi dan bahkan kekerasan.
Menurutnya, selain advokasi di bidang hukum, pendidikan juga menjadi kunci untuk menghilangkan bahaya eksploitasi dan juga tindak kekerasan.
Tidak hanya itu, menurutnya, pendidikan dapat menjadi pintu masuk untuk meningkatkan sejahteraan PRT.
"Jika pendidikan meningkat, skill meningkat otomatis ini akan menjadi nilai tambah bagi pekerja yang akan berdampak sejalan pada peningkatan penghasilan dari PRT," ujarnya.
Namun, yang menjadi tantangan, tambahnya Giwo, kurikulum di Indonesia masih terlalu umum dan belum mengarah pada peningkatan kualitas kompetensi seperti halnya negara lain.
Selain SMK, menurutnya, balai-balai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi yang sebenarnya pernah dijalankan di Indonesia, dapat kembali ditingkatkan untuk memperkuat SDM Indonesia," ujarnya.
"Harapan kita, apa yang menjadi visi Presiden Jokowi di masa jabatan keduanya tidak ditinggalkan. Jangan hanya berfokus pada pemulihan ekonomi akibat Covid saja, namun juga perlu tetap membangun SDM Indonesia termasuk perempuan," tegasnya.
Baca juga: 3 Peran Penting Kepala Sekolah di Era Normal Baru Pendidikan