KOMPAS.com - Penguatan literasi pastinya tidak boleh terhenti meski di tengah pandemi. Untuk itu, dibutuhkan semangat gotong royong agar penguatan literasi ini dapat terus berjalan. "Majalah Tergantung" menjadi salah satu contoh praktik baik tersebut.
Program "Majalah Tergantung" yang diinisiasi Majalah Mata Air, terinsipirasi dari artikel tahun 2014 berjudul "Kopi yang Tergantung" ditulis Astri Katrini Alafta, Pemimpin Redaksi Mata Air.
Dalam artikel tersebut diceritakan kebiasaan unik di Italia. Biasanya, pelanggan akan memesan dua buah kopi. "Uno café, uno suspeso, satu kopi, satu digantung," demikian ucapnya.
Kemudian bartender akan menyerahkan secangkir kopi pesanan pelanggan serta menggantung secarik kertas di dinding. "Kopi Tergantung" inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan orang tidak mampu untuk mendapatkan kopi di kedai tersebut.
"Artikel yang pertama kali saya tulis tahun 2014 ini sebenarnya adalah karena ingin membangun jiwa berbagi pada masyarakat dan menarasikan tentang adab dalam berbagi itu sendiri," jelas Astri.
Baca juga: Najwa Shihab: Ada 4 Miskonsepsi dan Tantangan Literasi di Era Digital
Kisah inspiratif ini kemudian menjadi model dalam praktik penguatan literasi lewat program "Majalah Tergantung".
Tegar Rezavie Ramadhan, Management Advisor Majalah Mata Air menyampaikan konsep tersebut ternyata menginspirasi orang-orang mampu untuk membeli lebih banyak untuk orang lain, termasuk untuk bacaan ringan, yaitu majalah.
"Dengan 'Majalah Tergantung', para pelanggan Mata Air dapat membeli lebih banyak untuk mengirimkannya ke panti asuhan, masjid, dan mahasiswa tak mampu," jelasnya.
Tegar mengungkapkan sepanjang Agustus dan September 2020, Majalah Mata Air telah membagikan 12.000 "majalah tergantung" di perumahan warga, sekolah, masjid, dan rumah baca di beberapa wilayah Tangerang Selatan, Depok, dan Jakarta.
"Kisah tersebut menunjukkan bahwa berbagi dapat dilakukan dalam hal-hal sederhana namun ternyata bisa berdampak luas," jelas Astri.
Astri menyampaikan kopi adalah hal esensial bagi masyarakat Italia namun tidak mahal, maka ketika ada kopi gratis yang dibagi dengan adab yang sangat memanusiakan maka hal itu sangat mengena bagi penerimanya.
"Demikian pula seandainya majalah tergantung ini menjadi budaya, di mana yang mampu melanggankan majalah pada orang lain yang bahkan mungkin tidak dikenalnya sekalipun, maka bisa dibayangkan majalah sarat ilmu dan kebaikan ini akan dibaca masyarakat di daerah terpencil yang jauh dari informasi, di perpustakaan-perpustakaan sekolah di pelosok, di rumah-rumah yatim, di madrasah bahkan mungkin bagi para mahasiswa yang sebenarnya suka membaca namun kurang mampu," jelasnya.
Pihaknya berharap, cara sederhana ini bukan hanya menjadi penggerak literasi dari masyarakat untuk masyarakat, tapi juga membuat rantai kebaikan dan transfer ilmu yang begitu luas.
Lebih jauh Astri menyampaikan, ada dua sisi program penguatan literasi yang telah dijalankan pihaknya selama ini; sisi masyarakat dan ilmuwan.
Baca juga: Festival dan Serambi Literasi, Upaya Kemendikbud Peringati Hari Aksara di Tengah Pandemi
Dari aspek masyarakat, sejak 6 tahun terakhir ini Mata Air telah keliling ke berbagai sekolah, universitas, dan kelompok-kelompok masyarakat baik di Jakarta maupun daerah, untuk memberikan pelatihan menulis dan membaca.