Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Workshop CEO SMK, GSM: Kualitas Pendidikan Kita Tertinggal 50 Tahun

Kompas.com - 16/11/2020, 12:07 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Anggaran belanja pendidikitan yang mengalami kenaikan 200 persen sejak 2002 hingga 2018, dinilai belum memberikan hasil optimal pada belajar siswa dan pemerataan kualitas pendidikan.

"Menurut laporan Bank Dunia tahun 2018 menyebutkan kesenjangan belajar di antara 50 persen siswa dari golongan masyarakat terbawah dan masyarakat teratas naik dua kali lipat dari satu tahun belajar pada tahun 2003 menjadi dua tahun belajar pada tahun 2015," ungkap pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal.

Data dan pernyataan ini disampaikan Rizal dalam "Workshop CEO SMK" yang digelar GSM dan Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, Ditjen Vokasi Kemendikbud. Acara diikuti 500 kepala sekolah SMK dan berlangsung 15-19 November 2020, di Yogyakarta. 

Rizal mengakui kenaikan anggaran tersebut telah memperluas akses pendidikan, terutama di antara anak-anak yang terpinggirkan, meningkatkan jumlah guru dan kualifikasinya melalui program sertifikasi, dan meningkatkan jumlah pendaftar ke sekolah sebesar 25 persen.

"Namun hasil belajar siswa kita tidak memenuhi target pembelajaran nasional yang telah ditetapkan Indonesia sendiri," tegasnya.

Baca juga: Kemendikbud: Lulusan SMA-SMK yang Diserap Perguruan Tinggi Hanya 38 Persen

Kejar ketertinggalan 50 tahun

Lebih lanjut Rizal mengungkapkan data Bank Dunia tahun 2011 yang menyebut 40 persen siswa kelas 2 tidak dapat mengenali angka dua digit dan 50 persen siswa kelas 4 tidak dapat menyusun serangkaian angka empat digit, dan pembelajarannya tetap rendah saat siswa berpindah kelas.

"Bahkan menurut survey PISA (Program International Student Assessment) tahun 2019, kemampuan penguasaan literasi, berpikir analitis dan kemampuan memecahkan persoalan siswa kita, masih dibawah 19 poin dari perkiraan Bank Dunia," ungkap Rizal lebih lanjut.

Bahkan, tambahnya, Indonesia tertinggal 50 tahun untuk mengejar ketertinggalan tersebut, dibandingkan rerata negara OECD lainnya.

Melihat soal ini, Rizal menegaskan perlunya perubahan arah kebijakan politik pendidikan dan narasi bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk bergerak bersama meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaan di bidang pendidikan.

"Untuk itu, kami melihat langkah Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud menggandeng Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) adalah dalam rangka untuk itu," ujarnya.

Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas belajar siswa SMK melalui penciptaan ekosistem sekolah yang menyenangkan agar siswa termotivasi belajar secara terus menerus dan percaya diri menjadi diri sendiri dengan mengeluarkan talenta terbaik mereka.

"Acara ini adalah workshop pelatihan ekosistem sekolah yang menyenangkan kepada kurang lebih 500 kepala sekolah SMK yang terpilih dalam program Kepsek CEO agar memiliki mindset yang baru didalam memimpin dan mengelola SMK di era ke depan yang penuh perubahan tak menentu ini," jelasnya.

Indonesia, menurutnya, kini harus bekerja secara berbeda.

"Paradigma berpikir pejabat dan birokrasinya tidak boleh terpaku pada laporan monitoring yang diterima melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Pendidikan Nasional (SPN) yang tidak berkorelasi erat dengan pembelajaran siswa," kata Rizal.

Hal ini ia sampaikan mengingat banyak data dilaporkan tidak akurat atau bukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau