Inilah satgas Covid-19 di Finlandia, data dan informasi dari lembaga ini sangat jelas dan membantu masyarakat secara langsung.
Warga Finlandia juga dikenal taat menjaga jarak dan hanya berkumpul atau bertemu apabila perlu, sehingga saat THL memberikan arahan kepada warga agar melakukan karantina mandiri selama 14 hari setelah bepergian dari luar negeri.
Saat siswa harus karantina karena seseorang di kelasnya atau di kelompoknya terdeteksi kena virus korona, para warga atau siswa akan taat untuk melakukan karantina di rumah selama 10 hari, dan tetap taat walau tes koronanya negatif.
Siswa boleh masuk sekolah apabila sehat; apabila flu, walaupun cuma kena gejala ringan, lebih baik siswa belajar di rumah. Tidak ada pemeriksaan dengan termometer misalnya, karena rasa kepercayaan yang tinggi akan tugas dan peran masing-masing. Berita nasional pun amat terpercaya.
Selain itu ada juga inovasi dari Finlandia untuk menggunakan aplikasi Penanda Korona (Koronavilkku) untuk mengetahui paparan yang potensial dialami seseorang; yang menarik, aplikasi ini menjaga kerahasiaan/anonimitas pengguna.
Baca juga: Memetakan Masalah, KPAI Desak Perlunya Uji Coba Belajar Tatap Muka
Sebanyak dua juta warga menggunakan aplikasi ini di telepon genggam mereka.
Apa yang khas dan mungkin bisa diadaptasi atau bahkan ditiru dari Finlandia?
Sampai saat ini tidak ada kasus korona di sekolah anak-anak saya. Anak sulung saya mengalami masa karantina dari hobi olahraganya dan sekolah masih berlangsung dalam metode PJJ.
Baca juga: Orangtua Tak Izinkan Belajar Tatap Muka, Sekolah Harus Tetap Fasilitasi PJJ
Negara-negara Eropa bagian utara seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia memiliki kebijakan yang sama dengan Finlandia. Siswa sudah kembali ke sekolah seperti biasa sejak Agustus lalu.
Di negara-negara lain juga sama; di Belanda, Inggris, Italia, dan Jerman, misalnya, siswa sudah kembali ke sekolah sejak September lalu dengan jadwal waktu masuk yang berbeda-beda di tiap kelas.
Siswa hanya bertemu dengan teman sekelasnya saja dan diatur waktu makan, istirahat, dan pulang untuk meminimalkan kontak.
Namun, apabila suatu kasus virus korona terdeteksi, sekolah kembali melakukan PJJ selama 14 hari—tidak ada upaya dari pihak kesehatan, kecuali ada gejala yang mengarah ke sakit.
Di Amerika Serikat kebijakan yang berbeda-beda diterapkan sesuai kondisi tiap daerah. Ada yang menerapkan kebijakan hybrid, PJJ dan PTM, dan banyak yang masih melakukan PJJ.
Di India ternyata praktiknya sama dengan Indonesia. Untuk wilayah perkotaan yang memiliki koneksi internet yang baik, PJJ dapat berlangsung dengan Zoom dan Google Meets. Sedangkan di pedesaan, tugas sekolah dikirimkan melalui surat elektronik dan pesan-pesan guru ataupun teman sekelas dikirim melalui media sosial serta aplikasi percakapan/pengirim pesan seperti WhatsApp.
Yang mengagumkan adalah Tiongkok. Situasi sudah kembali normal. Siswa sudah kembali belajar di sekolah sejak April seperti biasa dan hanya memakai masker. Daerah asal virus korona, Wuhan, pun sudah melaksanakan PTM sejak Mei.
Tidak ada lagi PJJ dan bahkan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan 50 siswa dalam satu kelas dapat berlangsung seperti biasanya. Namun, karena pemerintahannya kuat, saat terjadi kasus korona, pihak kesehatan siap untuk melakukan tes virus korona massal.
Misalnya, di Qingdao pada bulan Oktober, karena 6 kasus korona terdeteksi, 8 juta warga daerah tersebut (yang total populasinya 9,4 juta) melakukan tes kesehatan masal selama 5 hari.
Belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain, kelihatan bahwa kerja sama antar-pihak dan kesiapan jajaran kesehatan (tes Covid-19 dan sarana kesehatan) amat diperlukan apabila pembukaan sekolah akan dilaksanakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.