Oleh: Anik Widiastuti I Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
KOMPAS.com - Indonesia merupakan negara yang kaya budaya dan sangat relevan disebut sebagai negara multikultural. Beraneka suku bangsa, budaya, agama terdapat di Indonesia.
Hal ini menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya dan harus dijaga kelestarian serta keharmonisannya.
Sebagai negara beragam suku bangsa, tentu saja kita harus bangga, akan tetapi kita juga harus waspada, karena kebhinnekaan ini sangat potensial dipicu konflik. Apalagi sekarang banyak bermunculan kasus intoleran terjadi di sekolah negeri dan berpotensi merusak kebhinnekaan.
Mendikbud "Mas Menteri" Nadiem Makarim dalam rapat bersama Komisi X DPR (20/2/2020) secara tegas menyebut intoleransi sebagai salah satu dari "Tiga Dosa Pendidikan" selaian kekerasan seksual dan perundungan yang harus ditindak tegas.
"Saya sangat setuju bahwa enggak bisa hal-hal yang negatif ini hanya dilakukan dengan penguatan karakter. Harus ada tindakan tegas. Harus ada konsekuensi yang sangat berat bagi pelaku yang bisa disebut dosa-dosa di sekolah kita," tegas Nadiem kala itu.
"Dosa-dosa ini secara pribadi, menurut saya, ada tiga dosa (radikalisme, bullying dan kekerasan seksual) yang harusnya ada penindakan," tambah Nadiem di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Soal Kewajiban Jilbab bagi Siswi Nonmuslim, Ketua Komisi X: Kami Prihatin atas Sikap Intoleran
Misalnya tentang kasus terbaru wajib jilbab bagi peserta didik nonmuslim di Padang.
Riset LSM bergerak di bidang HAM, Setara Institute menunjukkan kasus di Padang bukanlah kasus pertama, sejak periode tahun 2016-2018, sudah ada tujuh kasus pemaksaan peserta didik non muslim mengenakan jilbab yang tersebar di SMP dan SMA negeri Provinsi Riau, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Untuk itu sangat diperlukan pendidikan karakter toleransi yang ditumbuhkembangkan sebagai upaya meminimalisir munculnya konflik akibat kebhinnekaan yang ada. Siapa yang tidak mengenal semboyan negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”?
Semboyan itu perlu dikuatkan dan diwariskan kepada seluruh generasi penerus bangsa. Agar di Indonesia dapat terwujud harmonisasi dalam kebhinnekaan atau yang sering diusung dengan jargon harmony in diversity.
Guru sebagai perancang pembelajaran perlu mempersonalisasi pembelajaran agar sesuai dengan karakteristik peserta didik dan sesuai dengan situasi sosial budaya yang ada di sekitarnya.
Setidaknya ada 2 model pembelajaran dan pelatihan guru di masa pandemi yang bisa diterapkan untuk membiasakan siswa dalam menerima kebhinnekaan.
Salah satunya "Reflective Learning" sebagai model penanaman karakter toleransi di mana guru menyajikan pembelajaran yang memberikan ruang kepada peserta didik untuk berpikir reflektif mengenai kebhinnekaan.
Apabila terjadi proses berpikir reflektif pada diri peserta didik, maka mereka akan dapat memahami, menganalisis, mengevaluasi, serta mencari solusi terhadap permasalahan kebhinnekaan yang ada di Indonesia, yang kemudian diharapkan muncul karakter toleransi secara simultan pada diri peserta didik.