KOMPAS.com - Dahulu, negara berkembang identik dengan kasus kurang gizi dan negara maju identik dengan kasus berat badan berlebih.
Akan tetapi, era globalisasi menyebabkan kasus berat badan berlebih, baik overweight atau obesitas, meningkat di beberapa negara berkembang.
Baca juga: Kenakan Kostum Komodo, Alumnus Unair Pukau Ajang Miss Universe 2020
Seperti Indonesia yang mengalami kenaikan kasus overweight sebesar 5 persen dan obesitas sebesar 11,3 persen dari 2007-2018.
Dosen Gizi Masyarakat Fakultas Kedokteran Unair, Widati menyebut pola makan yang tidak seimbang menjadi salah satu penyebab masalah overweight.
Dia mencontohkan, seperti makanan yang tinggi gula dan energi (kalori), tapi kurang serat dan protein.
Ditambah lagi dengan kurangnya aktivitas gerak, karena terlalu asik dengan gadget.
Akibatnya, energi yang tidak dipakai diubah menjadi cadangan tubuh berupa lemak yang berpotensi menjadi overweight atau obesitas.
Dia menuturkan, salah satu cara untuk mengetahui status gizi tubuh manusia adalah dengan pemeriksaan antropometri.
Pemeriksaan ini diawali dengan mengukur berat dan tinggi badan.
Selanjutnya, mencari Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan membagi berat badan (dalam bentuk kg), dengan tinggi badan yang dikuadratkan (dalam bentuk cm2).
Baca juga: Puasa Optimalkan Imunitas, Begini Penjelasan Guru Besar IPB
"Berdasarkan klasifikasi WHO, berat badan ideal memiliki skor IMT berkisar 18,5-25," ucap dia melansir laman Unair, Rabu (19/5/2021).
Dia menyebut, apabila skornya di bawah 18 dikategorikan sebagai kurus, sedangkan 25-29,9 dikategorikan sebagai overweight.
Lalu, di atas atau sama dengan 30 disebut sebagai obesitas.
"Namun, pengukuran ini tidak bisa mengetahui berapa presentase air, otot, dan lemak," ucap dokter kelahiran Ponorogo ini.
Dia menegaskan, salah satu cara untuk menurunkan berat badan bagi penderita berat badan berlebih adalah mengurangi makan.