KOMPAS.com - Kekerasan anak masih menjadi momok menakutkan bagi banyak anak-anak di Indonesia.
Mengutip data dari KPAI tahun 2011–2021, jumlah kasus pengaduan perlindungan anak meningkat setiap tahunnya.
Kekerasan itu tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk psikis, seperti membentak ataupun mengabaikan anak.
Banyak pula kasus kekerasan anak di media massa yang korbannya merupakan anak-anak di bawah 5 tahun.
Baca juga: Orangtua, Ini 6 Cara Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak
Melihat banyaknya kasus kekerasan anak, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Zendy Wula Ayu Widhi Prameswari angkat suara.
Dia menyebut, pemenuhan hak anak di Indonesia masih dinilai kurang olehnya.
"Keluarga dan pengasuhan alternatif memiliki jumlah kasus yang tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011," ungkap Zendy dilansir dari laman Unair, Senin (28/3/2022).
Bahkan, menurut dia, persentase tertinggi pelaku kekerasan anak ada di keluarga dan kerabat.
Padahal, kata dia, dampak kekerasan anak bisa dirasakan saat usia dewasa.
Pada akhirnya berpengaruh besar pada mental mereka masing-masing.
"Kekerasan dapat membekas ke batin sang anak yang akan mempengaruhi perkembangannya," ujarnya.
Baca juga: Pakar Psikologi Unair: Begini Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual
Beberapa penyebab terjadinya kekerasan anak, sebut dia, dipengaruhi teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan anak, kemiskinan dan pengangguran, serta kondisi tempat tinggal yang tidak ramah pada anak.
Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu juga memaparkan, realita di Indonesia mengenai kurangnya perlindungan kasus kekerasan anak menyebabkan masalah itu sering timbul.
Salah satunya adalah budaya double victimization yang sering terjadi di Indonesia.
Double victimization adalah saat korban melapor kepada pihak berwenang, tapi ditanggapi dengan sanggahan, seperti 'pantas saja dihukum, anaknya nakal toh'.