KOMPAS.com - Pemerintah berencana memberikan bantuan subsidi upah (BSU) karyawan pada bulan April 2022.
Pemberian tersebut dikarenakan naiknya harga bahan baku pokok terutama komoditas minyak.
Melihat hal itu, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Rahma Gafmi mengatakan bahwa bantuan subsidi tersebut tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat.
“Karena tingkat konsumsi suatu masyarakat harus disesuaikan dengan pendapatan. Jadi kalau pendapatan kita berkisar tiga juta, maka kita melakukan pengeluaran konsumsi tidak lebih dari tiga juta,” ungkapnya, dilansir dari laman Unair.
Baca juga: Kemendikbud Gelar Kompetisi Esai bagi Siswa-Mahasiswa, Total Hadiah Rp 10 Juta
Namun yang perlu diperhatikan, saat ini barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga. Akan tetapi hal tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia saja, namun kenaikan tersebut merupakan pengaruh ekonomi global.
Oleh sebab itu memahami kenaikan harga yang melonjak tinggi, erat kaitannya dengan bagaimana menentukan kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah.
“Akhirnya salah satu kebijakannya adalah pemberian bantuan subsidi upah kepada karyawan atau buruh. Namun, yang jadi permasalahan adalah karena kita tidak bisa mengendalikan permasalahan kenaikan harga bahan pokok. Pastinya dengan pemberian satu juta tersebut berdampak pada pengurangan jumlah konsumsi yang ada di dalam rumah tangga itu,” jelasnya.
Kebutuhan yang tinggi, berdampak pada pola hidup masyarakat. Ada kemungkinan, masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya yaitu 4 sehat 5 sempurna. Sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap kesehatan.
Karena harga bahan pokok naik dan tidak memungkinkan untuk dibeli, maka pasti ada yang dikurangi.
Baca juga: 5 Alasan Pasangan Selingkuh, Ini Penjelasan Sosiolog Unair
Kenaikan harga pokok memungkinkan bukan hanya berdampak pada buruh saja, akan tetapi juga berdampak pada golongan menengah ke bawah.
Sehingga akan berpengaruh terhadap human development indeks yang akan turun karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok apabila permasalahan ini dibiarkan terus menerus.
“Jadi kalau kita lihat ini karena pengaruh adanya perang maka secara politis akan susah menolak batas harga dan bagaimana kita bisa memberikan kompensasi untuk konsumen dan perusahaan,” ungkap ekonom Unair ini.
Kenaikan bahan pokok terutama komoditas yang ada di Indonesia erat kaitannya dengan kasus siklus babi yang pernah terjadi di Belanda.
Konsep yang dimaksud siklus babi yaitu apabila harga babi naik karena demand, maka peternak babi menambah supply-nya. Siklus babi membuat harga komoditas naik turun.
“Jadi kalau harga naik supply nambah, kalau supply nambah harga turun. Maka dari itu terjadi swing pada komoditas tersebut. Begitu pula yang terjadi pada komoditas batu bara dan bahan tambang lain, itu yang saya sebut dengan siklus babi. Karena yang terjadi saat itu di Belanda adalah babi bukan komoditas yang lain,” jelasnya.
Baca juga: Cara Ampuh Usir Tikus di Rumah ala Ahli Tikus IPB
Menurut Rahma, akibat adanya pandemi yang berkepanjangan dan mengakibatkan banyak masyarakat yang di PHK, tidak punya pekerjaan, hingga kehilangan penghasilan.
Pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan agar investasi tumbuh dengan memperluas kesempatan kerja baru, sehingga masyarakat merasakan manfaatnya.
“Apabila pemerintah melakukan kebijakan supply secara terus menerus maka ini hanya bisa mengatasi jangka pendek saja, untuk bantuan yang satu juta itu. Tapi jangka panjang tidak menyelesaikan masalah,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.