KOMPAS.com - Setiap orang memiliki hak untuk mampu mendapatkan pendidikan dengan layak. Tetapi, hal ini terasa sulit bagi masyarakat yang berada di Papua Pegunungan.
Papua masih menjadi daerah yang jauh dan tertinggal, hal ini terlihat dari segi pembangunan infrastruktur yang belum memadai. Di sana juga sering terjadi masalah keamanan yang mengancam keselamatan mereka.
Berbagai masalah tersebut menimbulkan dampak yang besar seperti jika ada kerusuhan, maka anak-anak libur dan tidak akan bersekolah.
Baca juga: Beasiswa S2 Double Degree ke Oxford, Kuliah Gratis dan Uang Saku Rp 338 Juta
Joko Prasetiyo, Area Program Manager Pegunungan Tengah Wahana Visi Indonesia mengatakan bahwa banyak sekali hambatan yang dialami oleh anak-anak di Papua untuk mengakses pendidikan.
“Kerentanan yang dialami melibatkan banyak pihak, bukan hanya satu pihak saja,” ujar Joko di konferensi pers Childhood Hope pada Kamis (2/11/2023).
Ketika anak-anak sudah sampai di sekolah, Joko menyebut tak jarang mereka melihat ruang kelas kosong dan tidak ada guru yang mengajar.
“Guru di sana mau mengajar tetapi mereka juga memiliki hambatan. Seperti tidak adanya rumah untuk guru yang tempat tinggalnya jauh dan guru pendatang itu harus memberikan jaminan keamanan untuk kesana,” kata Joko.
Baca juga: ASFA Foundation: Peningkatan Pendidikan demi Percepat SDM Unggul
Jarak antara sekolah dan rumah siswa juga cukup jauh. Maka, tak heran jika banyak anak di sana yang belum bisa membaca secara jelas dan masih terbata-bata.
Selain itu, masih banyak orang tua di sana juga belum menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anak mereka.
Padahal, pendidikan dapat menjadi investasi jangka panjang untuk setiap anak. Memang, manfaat pendidikan tidak bisa dirasakan secara langsung tetapi nantinya dapat berguna di masa yang akan datang.
“Saat itu, banyak orang tua yang bilang sekolah itu bayar dan mereka tidak sanggup. Kemudian, ada sekolah gratis tetapi masih banyak anak yang belum sekolah juga,” kata Joko.
“Masih banyak anak-anak yang lapar ketika sampai di sekolah, mereka belum makan,” kata Joko.
Baca juga: Cerita Bonsa, Siswa dari Papua Barat yang Ingin Jadi Ahli Ekonomi
Padahal, anak yang akan pergi ke sekolah harus memiliki energi untuk memahami dan mengikuti pembelajaran. Hambatan selanjutnya adalah tidak meratanya kurikulum yang didapatkan.
Joko mengatakan bahwa di sana masih menggunakan kurikulum KTSP 2006. Padahal, saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia sudah menggunakan kurikulum merdeka belajar.
Hambatan-hambatan tersebut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kita gambaran bagaimana sulitnya menempuh pendidikan di Papua Pegunungan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya